Alat Pengukur Dosa Abah Nafi’
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—DAHULU ketika mondok di Kajen Pati, setiap sepekan sekali saya punya peranti pengukur dosa yang saya ciptakan sendiri dan mungkin satu-satunya alat temuan pengukur dosa absurd di muka bumi.
Namun, karena Abah Nafi’ (K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah) sampun kapundut, Ahad (17/2/2017), saya hendak mengabarkan ciptaan keren ini kepada publik. Siapa tahu, ada yang menciptakan piranti pengukur dosa lain yang lebih menarik.
Di hari Jumat, ketika kaki saya menginjakkan lantai tegel klasik masjid Jami di Kajen, entah ada dorongan dari mana, hati saya seketika luruh dan sekuat energi meliputi batiniah saya untuk segera memperbanyak zikir kepada Allah.
Karena, pikir saya, sebentar lagi adalah saat di mana pengukuran amal sepekan saya bakal ditimbang. Dan saya bisa memprediksi secara asal-asalan akan masuk ke surga atau neraka ketika di pekan tersebut nyawa saya tercerabut.
Misal kata, selama sepekan sebelumnya saya menjalankan dosa yang banyak atau dosa yang sedikit, saya selalu mengukur amal tersebut dengan respons Abah Nafi’.
Maka, ketika saya merasa dosa sepekan ini banyak, saya akan semakin khusuk untuk membaca surat Al-Ikhlas, Mu’awidatain, Al-Fatihah, tujuh kali tujuh kali tanpa mengubah posisi tasyahud akhir. Sidang pembaca tentu paham dengan budaya dosa yang dilakukan santri ketika di pondok, yakni; kebablasan salat Subuh dan jelalatan ketika melihat harim yang glowing serupa Angel Karamoy.
Namun, ketika sepekan sebelumnya dosa yang saya cipta sedikit, saya akan tenang ketika melangkahkan kaki ke masjid.
Maklum saja, kala itu, saya selalu mencoba meniru laku Abah Nafi’ yang ketika berjalan selalu menunduk, lembah manah, dan selalu melihat ke bawah.
Bahkan, ketika pulang sekolah dari Matholek dan papasan dengan harim saya yang sekolah di tempat sama, saya tidak tahu. Dikiranya saya sombong dan dia SMS berontak mengira saya sudah tidak sayang karena cuek bebek.
Untung saja, si harim menerima penjelasan saya dan malah makin bangga karena mempunyai calon imam yang aduhai.
Akhirnya, ketika saya sudah merasa siap untuk masuk ke ranah penimbangan amal, saya akan segera bangkit bakda salat Jumat usai.
Saya dan santri-santri Kajen akan merubung Abah Nafi’ untuk mushafahah. Tentu para santri tidak tahu jika salim dengan beliau adalah jadi alat pengukuran amal saya. Dan saya pun juga tidak tahu jika salim kepada beliau dijadikan para santri lain untuk apa. Yang saya tahu, para santri salim kepada beliau untuk ngalap berkah, tak lebih.
Nah, ketika sepekan silam saya merasa banyak dosa, entah beliau dapat bisikan dari mana, tangan beliau selalu enggan saya cium. Tangan beliau buru-buru ditarik. Dan di situlah saya merasa sedih dan kecewa: karena dosa saya memang sedang mekar.
Namun, ketika sepekan sebelumnya saya merasa dosa saya sedikit, beliau pasti melemaskan telapak tangan beliau secara melankolis dan membiarkan saya menciumi tangan beliau atas bawah secara sporadis. Dan di sinilah saya merasa bungah. Karena merasa telah menjalani kehidupan santri yang semestinya, yakni: menyedikitkan dosa.
Sayangnya, saat ini beliau telah tiada. Dan saya teramat kangen dengan alat ciptaan pengukur amal absurd saya yang telah lenyap seiring kepulangan beliau menghadap Illahi.
Semoga kelak, di alam sana, saya bisa mengulang mengukur timbangan amal kepada beliau. Dan saya akan matur bahwa saya amat kangen mencium tangan beliau, berkali-kali, seperti di alam dunia yang telah beliau tinggalkan ini. (*)
EKO SAM, founder becik.id