Bertamu di Rumah Ibu Kita
Oleh A.S. Laksana
BECIK.ID—Pada umur lima, saya mengenal dua nama perempuan melalui lagu-lagu yang dinyanyikan teman dan saya ingin bertemu dengan perempuan dalam lagu-lagu itu. Yang pertama adalah Ibu Kita Kartini dan yang kedua Ade Irma Suryani.
Teman saya yang bersekolah di TK Bustanul Athfal dan sudah beberapa kali dibawa oleh gurunya untuk menyanyikan lagu-lagu di RRI tahu di mana rumah dua perempuan itu. “Rumah Ibu Kita dekat Simpang Lima,” katanya, “dan rumah Adek Iman Suyani di sampingnya.”
Ia bilang suatu hari, saat kami mencari capung berdua di semak-semak pekarangan rumah kosong, bahwa ia pernah melihat Ibu Kita sedang menyapu halaman, cantik orangnya, dan ia juga melihat Adek Iman sedang dipangku ibunya di teras rumah. Adek Irma cantik juga dan rambutnya panjang, tetapi umurnya baru tiga tahun. Lalu ia bernyanyi: “Akan kuingat selalu… Adek Irma Suyani…!”
Saya pikir itu lagu karangannya sendiri. Saat mendengar ia menyanyikan lagu “Adek Iman”, saya membayangkan ia benar-benar bertemu gadis kecil yang duduk di pangkuan dan ia menyanyi untuk mengenang pertemuan itu.
Kalau yang ini Bupati Rembang setelah suami Ibu Kartini. Beliau bisa disebut istimewa karena sebagai bupati beliau hanya beristri satu. Dari satu istri itu beliau punya dua puluh dua anak.
Wartono, juru kunci makam Ibu Kita
Saya ingin berumur enam saat itu juga. Tetapi waktu selalu berjalan lambat bagi kanak-kanak. Satu hari terasa lama sekali ketika kita menunggu hari raya. Satu tahun terasa sepanjang masa. Saya ingin lekas masuk TK dan dibawa menyanyi oleh guru ke RRI. Pada saat itu kami pasti akan lewat di depan rumah Ibu Kita, melihatnya sedang menyapu halaman, dan melihat di teras rumah sebelah Adek Irma duduk di pangkuan ibunya.

Namun saya tidak seberuntung teman saya. Pada saat saya masuk TK yang sama, tidak satu kali pun guru membawa kami menyanyi di RRI. Kesempatan untuk melihat rumah Ibu Kita baru datang lima dekade kemudian, ketika umur saya lima puluh dua. Ternyata rumahnya jauh dari Simpang Lima, Semarang. Ia tinggal di Rembang.
Kami mengunjunginya Kamis lalu, duduk-duduk di ruang tamu rumah peristirahatannya, 19 kilometer di selatan alun-alun kota ke arah Blora, dan Ibu Kita tidak sedang menyapu halaman. Ia tidur selama-lamanya, di makam keluarga suaminya, Bupati Rembang Djojo Adhiningrat.
Wartono, lelaki 41 tahun yang meneruskan pekerjaan turun-temurun keluarganya sebagai juru kunci makam, menceritakan riwayat beberapa orang selain Ibu Kita yang ia pikir perlu dijelaskan kepada kami.
“Kalau yang ini Bupati Rembang setelah suami Ibu Kartini,” katanya ketika saya memotret makam Djojo Adhiningrat juga. “Beliau bisa disebut istimewa karena sebagai bupati beliau hanya beristri satu. Dari satu istri itu beliau punya dua puluh dua anak.”
Dari pemakaman, kami ke rumah peristirahatan beberapa puluh langkah dari kompleks makam. Tarmo, juru kunci rumah peristirahatan, memperlihatkan kepada kami kamar-kamar di sana, kecuali kamar Ibu Kita. “Boleh kalau mau bermalam di sini, Mas,” kata Tarmo, setelah kami bercakap-cakap panjang dan menjadi seperti kawan lama. “Tapi bukan di kamar Ibu Kartini. Sekarang malam Jumat dan kamar Ibu Kartini tidak boleh dibuka.”

Gerimis turun dan kami pamit kepada Ibu Kita dan para juru kunci dan melanjutkan perjalanan ke Blora untuk melihat replika gajah purba Blora di depan rumah dinas bupati. (*)