Buya Minan: Kenangan dan Wejangan Plus Ijazah Selawat Jibril
Oleh Bahri Azmatkhan
BECIK.ID—DENGAN memohon rida-ikhlas dan dengan kerendahan hati, izinkan saya yang fakir (min rahmatillah) ini untuk sedikit mengenang budi baik, welas asih Pak Lik (Paman) Minan, K.H. Ahmad Minan Abdillah, lewat tulisan ini.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, namun ada beberapa wejangan yang selalu saya ingat serta ibrah keteladanan yang bisa kita tiru dan ikuti untuk nderek tindak lampahipun.
Sosok yang Hangat dan Welas Asih
Dahulu, tepatnya pada tahun 2000, ketika saya masih kecil dan duduk di bangku kelas 1 DU (Diniah Ula), meskipun saya mukim pondoknya di PMH Putra, tapi saya sering maem di dalem PNQ lewat pintu dapur belakang. Di PNQ ada Kang-Kang dan Mbak-Mbak yang sebelumnya sudah diutus ketika melihat saya untuk disuruh maem.
Pernah suatu ketika sepulang sekolah, siang hari setelah jamaah salat zuhur, dengan masih memakai seragam Mathole’, saya hendak menuju dapur untuk maem. Tapi waktu itu sedang tidak ada Kang-Kang dan Mbak-Mbak di dapur.
Ketika itu saya orangnya masih pemalu dan sungkanan. Artinya jika tidak ada Kang-Kang dan Mbak-Mbak dalem yang menyuruh saya mengambil makanan, saya gak berani menyelonong ngambil makanan seenaknya. Dan di saat tidak ada orang itulah, Buya Minan mengetahui kedatangan saya di dapur pintu belakang. Spontan beliau langsung manggil saya;
“Ful… mene ayo maem sek, Ful,” dengan suara beliau yang khas ngebass dan berwibawa. (Ful… ke sini, ayo makan dulu.)
Tanpa mengurangi rasa hormat, tak disangka dan tak dinyana, beliau malah meladeni saya. Beliau membuatkan minuman dengan menyeduh air hangat susu putih dicampur sirup merah—sambil sesekali ngajak ngobrol. Terkenang betul, saya masih ingat sampai sekarang. Bagaimana aroma rasa minuman racikan beliau dan kehangatannya.
Selain itu nasi segunung beserta seluruh lauk pauknya (paket lengkap 4 sehat 5 sempurna) dihidangkan hanya untuk menyuguhi anak kecil dari Semarang yang kurang ajar macam saya ini.
Pikiran saya semakin tambah kacau dan berkecamuk malu plus sungkan tak karuan. Padahal selama ini dengan Kang-Kang dan Mbak-Mbak saya disuruh ngambil maeman sendiri, ini malah beliau yang ngambilin saya—meladeni saya.
Beliau yang derajatnya tinggi tidak segan meladeni anak kecil seperti saya, tapi justru saya-nya yang semakin tambah sungkan dan malu pada waktu itu. Sungguh pemandangan yang menyentuh hati saya, hingga membekas di memori sampai saat ini. Keteladanan akhlak rendah hati beliau seperti ini sudah jarang ditemui di perkotaan. Semoga kita semua bisa meniru dan mewarisi akhlak (budi pekerti) dan ketawaduan beliau.
Amplop dan Zuhud
Satu hal lagi yang tak bisa dipungkiri, beliau ini senang “nyangoni” alias memberi uang saku pada tamunya. Terlebih pada setiap ponakannya yang rumahnya jauh-jauh.
Sampai-sampai pernah suatu ketika kami bersilaturahmi, saat kami hendak berpamitan pulang, beliau memberi amplop di saku kantongnya yang kami tahu bahwa amplop itu adalah pemberian dari tamu sebelumnya. Namun beliau tak memikirkan hal itu. Tak memikirkan berapa jumlah isinya. Hal yang sama ini juga pernah saya alami dan saya lihat dengan Abah K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah, kakak kandung Buya Minan.
Saya betul-betul merasakan aura seolah dunia tidak dibutuhkan. Tapi justru malah dunia yang mengejar-ngejar. Sebagaimana seperti dalam Kalamullah hadis Qudsi yang menunjukkan perintah Allah kepada dunia:
يادنيا اخدمي من خدمني، واستخدمى من خدمك
Yang terjemahan bebasnya kurang lebih; “Hai dunia, jadi budaklah kamu pada orang-orang yang menyembah-Ku, dan perbudaklah orang-orang yang menyembahmu.” (HQR. Al-Qudla’i yang bersumber dari Ibnu Mas’ud ra.) [Al Futuhatul Makkiyah]
أَلَمۡ تَرَوۡا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَمَا فِی ٱلۡأَرۡضِ وَأَسۡبَغَ عَلَیۡكُمۡ نِعَمَهُۥ ظَـٰهِرَةࣰ وَبَاطِنَةࣰۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یُجَـٰدِلُ فِی ٱللَّهِ بِغَیۡرِ عِلۡمࣲ وَلَا هُدࣰى وَلَا كِتَـٰبࣲ مُّنِیرࣲ
“Tidakkah kamu lihat bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan) mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah dengan tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” [Q.S. 13 Luqman: 20]
Perhatian Penuh pada Pendidikan
Pernah suatu ketika saya ditawari pilihan Bapak; antara mau ikut menghadiri pernikahan adiknya, Bulek Tuhah, di Singosari Malang, atau berangkat sekolah saja. Karena dasarnya saya orang dablek, ya saya milih bolos sekolah saja, untuk ikut tawaran Bapak pergi ke Malang. Waktu itu saya masih Tsanawi.
Dan saat di Malang itu saya kepanggih Buya Minan. Saat itu pula beliau langsung menanyai saya; “Loh… kok gak mangkat sekolah. Nggoheman nak ketinggalan pelajaran. Iki Mathole’ yo lagi ketat-ketate lho….” (Loh, kok gak berangkat sekolah. Sayang ya kalau ketinggalan pelajaran. Apalagi saat ini Mathole’ sedang ketat-ketatnya.)
Lalu dengan serius beliau berbincang-bincang dengan Bapak yang ada di sebelah saya. Termasuk menjelaskan kondisi Mathole’ yang saat itu sedang banyak mengeluarkan murid-murid bandel yang terlalu banyak EL (istilah alpa di Mathole’). Dari situ saya merasakan betul perhatian beliau. Seolah memang beliau tidak rida jika ada anak yang meremehkan pelajaran.
Pilihan Profesi dan Wejangan Jampi-Jampi
Pernah suatu ketika saat bujang, sebagai orang biasa, saya mengalami masa-masa sulit. Serba kamuflase. Hidup di Semarang seolah kehilangan arah orientasi. Usia semakin bertambah dan gak juga nikah-nikah. Orang tua sudah intiqol ilaa Rohmatillah. Kuliah tambah ruwet. Urusan kerjaan mumet dan rejeki seret. Serba membingungkan.
Maka saat itu segera saya putuskan berangkat dari Semarang ke Kajen untuk sowan beliau bermaksud ingin meminta arahan dan petunjuk.
Namun sesampai di dalem kepanggih beliau, baru uluk salam dan salim, beliau langsung memberi nasihat yang sangat berharga bagi saya. Saya hanya terdiam mendel midanget mirengaken (terdiam mendengarkan). Saya tidak berani menyela tiap kata per kata yang penuh cahaya Qur’ani dari lisan beliau. Saya bahkan tidak sempat menyampaikan uneg-uneg. Namun atas izin dan karunia Allah, semua kegelisahan yang saya bawa dari Semarang sudah terjawabkan dan terobati seketika tanpa saya menyampaikannya ke beliau.
Singkatnya, yang beliau dawuhkan sebagai berikut;
“Kabeh iku Allah… Aku ra ngeti kahananmu nang Semarang. Mestine bedo karo kahanan nang kene.” (Semua itu Allah. Aku tidak tahu keadaanmu di Semarang. Mestinya berbeda dengan keadaan di sini.)
“Awakmu meh dadi pegawai yo, lah. Meh dadi kiai yo, lah. Sing penting pesenku sing akeh wacanane.” (*) (Dirimu mau jadi pegawai ya, silakan. Mau jadi kiai ya, silakan. Yang penting pesenku, yang banyak bacaannya—wiridannya.) Kalimat ini yang sering beliau ulang-ulang dengan penuh penekanan.
(*) Dalam lanjutan dawuh beliau yang ini, ada hal yang belum bisa saya share di sini. Namun pada intinya, saya merasakan seolah-olah beliau sedang nuturi (mengajari) saya yang dalamm konsep tasawuf ada makam asbab (iktisab), ada makam tajrid. Tentang cara manusia memperoleh rezeki dengan sebab kerja keras, dan cara manusia memperoleh rezeki dengan tanpa kerja namun diganjar rezeki cukup dan berlebih oleh Allah Swt.
Lalu setelah itu beliau memberi ijazah Selawat Jibril dengan menalkinn;
“Shollallah ‘alaa Muhammad, Shallallah ‘alaa Muhammad, Shallallah ‘alaa Muhammad…,” dst.
“Supoyo dibimbing Kanjeng Nabi, ditoto Gusti Allah, wis iku amalno. Wocono sedino ping sewu wae. Yen aku sedino iso ping 6.000 kadang sampai 10.000. Masio wacanane cekak ojo mbok remehno. Iku amalane poro wali. Yen awakmu gelem ngamalno, ora ono setahun hajatmu tembus diijabahi Gusti Allah.”
(Supaya dibimbing Kanjeng Nabi, ditata Gusti Allah, amalkan ini. Bacalah sehari seribu kali saja. Kalau aku sehari bisa enam ribu kali dan terkadang sampai sepuluh ribu kali. Meski bacaannya pendek, jangan kamu remehkan. Itu amalannya para wali. Jika kamu mau mengamalkannya, tidak ada setahun hajatmu tembus dan diijabahi Gusti Allah.)
Dan benar, tidak ada setahun, atas izin Allah, hajat saya dimudahkan. Dalam satu bulan saya mengalami dua peristiwa penting dalam hidup, yakni; di bulan November, awal bulannya saya menikah dan akhir bulannya saya diwis-sudah (setelah sekian lama wajib kuliah 9 tahun).
Selang beberapa bulannya, saya mendapat SK diamanahi jadi TA (Staf Ahli) DPD RI Prov. Jateng dari Fraksi PPP—meskipun saat ini sementara tidak saya lanjutkan dulu karena soal benturan hati.
Dan semenjak itu, tiap kali ada teman kampus, teman jalanan yang bingung masalah kerjaan, bingung masalah nikah, wes angger tak kasih selawat gitu aja, sebagaimana yang diajarkan Buya Minan.
Meskipun ada yang masih menunggu lama, ada yang langsung hajat mustajab langsung kilat كالرّيح المرسلة , namun rata-rata lebih banyak diijabahi Allah ketimbang tidaknya. Dan semuanya dari Allah, hanya Allah, dan karena Allah. Diijabahi di dunia juga karena Allah, belum diijabahi itu juga karena Allah. Justru menjadi tabungan yang besar di akhirat nanti.
Semoga saya dan kita semua diakui santrinya Buya Minan fiddunya hattal aakhiroh. Aaamiin. Lahul faatihah….