Dawuh Mbah Dullah yang Saya Temukan di Secarik Kisah dan Kertas Lusuh
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—SALAH satu kisah masyhur perihal terkuaknya sosok Mbah Dullah, K.H. Abdullah Zein Salam, seorang wali ialah kesaksian seorang sopir taksi asal Indonesia di Mekkah saat mengantarkan Mbah Dullah bepergian di sana.
Ringkasnya, saat di perjalanan di suatu jalan di tanah Arab, Mbah Dullah dan sang sopir berbincang-bincang ala kadarnya dan di akhir cerita tersebut Mbah Dullah menawarkan kepada sang sopir jika suatu nanti pulang ke tanah air diperkenankan pinarak guna menyambung silaturahim di dalem beliau.
Dan … betapa kagetnya sang sopir. Saat bertemu putra laki-laki tertua Mbah Dullah, yakni K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah, sang sopir kembali tertegun ngungun. Ia terperangah. Ternyata, suatu silam, sosok penumpang taksinya yang ia antarkan di tanah Arab telah meninggal dunia—jauh hari saat ia dan Mbah Dullah saling bincang.
Demikianlah. Serapat-rapatnya tingkat kewalian beliau disembunyikan, jika Allah menghendaki untuk dibuka, maka terbukalah.
Terkait beliau Mbah Dullah, saya memang belum pernah bertemu secara langsung dengan beliau. Karena, saat pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Kajen tahun 2002 beliau sampun kapundut. Meski demikian, kisah hidup beliau sedikit demi sedikit membuat saya begitu tertarik untuk menggalinya. Lebih-lebih ada juga kisah menarik tentang beliau di lingkungan keluarga saya.
Terceritakan … Suatu saat di tahun 90-an, Mbah Dullah silaturahim ke rumah paman saya (santri beliau) di area Kunduran, Blora. Sayang, paman saya waktu itu tidak di rumah dan yang menyambut beliau adalah bude.
Hingga, saat paman saya pulang, si bude menyampaikan perihal kunjungan istimewa tersebut. Sayangnya, si bude menyambut beliau kurang begitu bersemangat. Karena beliau sendiri sedang dirundung duka yang berat perihal pernikahannya dengan paman saya. Intinya, si bude mandul dan memaksa paman saya menceraikannya meski paman saya tidak berkenan—lebih-lebih paman dan bude telah mengarungi mahligai rumah tangga bersama-sama belasan tahun.
Akhirnya, dengan berat hati paman saya meninggalkan dan menuruti permintaan bude saya dan tanpa membawa sepeser pun pundi-pundi kekayaan yang mereka cari bersama. Meski sebenarnya, saat itu paman dan bude tergolong orang mampu. Dan nahasnya, tak berselang waktu lama dari perpisahan itu, si bude dipanggil Yang Maha Kuasa. Mungkin perpisahan pernikahan itu merupakan “kode” dari si bude kepada paman agar tak begitu menyesali kepergian beliau ke alam baka.
Dawuh Mbah Dullah di Secarik Kertas
Saya tidak begitu ingat kejadian ini di mana dan tahun berapa. Yang saya ingat cuma satu, yakni saat saya masih menjalani kehidupan yang belum memiliki arah dan menemukan dawuh beliau dengan bahasa Jawa di secarik kertas lusuh saat membengkelkan motor Supra X bersejarah saya di suatu bengkel—entah di Grobogan atau di Pati. Maklum saja, sejak dulu hobi saya saat sedang mumet adalah segera ziarah ke makam para wali. Dan sasaran saya, kalau tidak di makan Mbah Mutamakkin Kajen ya di makam wali di Grobogan atau Kanjeng Sunan Kalijaga.
Yang jelas, saat itu masih belum ada WhatsApp dan hape saya sudah ada kamera.
Saat di bengkel itu, tanpa sengaja mata saya tertuju pada secarik kertas yang tak utuh dan lusuh. Seperti sobekan buletin Amanat (butelin tahunan yang dibuat siswa Mathali’ul Falah dan terbit setahun sekali) atau buletin-buletin musiman saat buletin Amanat mengadakan workshop jurnalistik di Mathali’ul Falah. Atau juga, seperti sobekan kertas koran Suara Merdeka.
Karena saya suka baca, saya ambil kertas cuilan itu. Dan merindinglah saya. Ternyata di sobekan kertas itu di antaranya berisi tiga butir dawuh Mbah Dullah yang di kemudian hari senantiasa saya latih agar benar-benar terpatri dan mengkristal dalam diri saya. Dalam kertas lusuh itu, saya sangat sadar jika di bawah dawuh itu tertuliskan nama Mbah Abdullah Salam Kajen.
Dan sejak saat itu, dawuh beliau saya salin pada kertas kecil dan selalu saya simpan di dalam dompet. Juga, usai saya menikah, bekerja dan beranak-pinak, dawuh beliau saya salin ulang di kertas lain dan saya tempelkan di depan mata saya—di meja tempat kerja saya sampai sekarang.
Berikut isi dawuh beliau yang saya maksud dan alhamdulilahnya saat saya bersama kawan-kawan alumni PIM 2007 mendirikan pojokpim.com pernah tersiar pada tanggal 1 November 2019. Dan juga, saya merasa senang karena dawuh ini dijadikan foto profil WAG alumni angkatan saya oleh ketua alumni.
1. Gaweo seneng wong liyo. (Bikinlah senang kepada orang lain.)
2. Ojo ngapusi. (Jangan berbohong.)
3. Ojo ngrepotake wong liyo. (Jangan merepotkan orang lain.)

Demikianlah kisah sederhana ini saya sampaikan. Meski saya belum pernah bersua beliau atau pun dikunjungi beliau seperti paman saya, entah kenapa ikatan batin saya terasa begitu dekat dengan beliau dan tanah Kajen.
Dan alhamdulillah, cucu-cucu beliau juga ada yang pernah singgah di rumah saya, macam Gus Atok Nafi’ dan Gus Tsaqib, Pahesan. Gus Najih Maimoen, Kiai Anwar Zahid, dan kiai-kiai lain juga pernah sekadar pinarak di rumah saya.
Alhamdulillah, hal tersebut merupakan salah satu kunjungan yang membuat bungah saya dan keluarga saya guna mengalap berkah dari orang-orang mulia. (*)
EKO SAM, founder becik.id. Sabda Malaikat merupakan buku cerpen pertamanya, 2019. Lahir dan tinggal di Grobogan, Jawa Tengah.