Debu yang Beterbangan
Oleh Eko Sam
Jika kita baik, sejatinya adalah kebaikan Allah. Jika kita santun, sejatinya adalah kesantunan Allah. Jika kita beriman dan bertakwa, maka itu tanda Allah menyayangi kita.
Eko Sam
BECIK.ID—PERNAHKAH engkau merasa hidup di dunia ini bagai setitik noda dalam hamparan manila putih atau lebih kecil lagi, dan lagi? Kalau belum, bacalah ulasan ini.
Iblis merasa digdaya dan mulia lantaran merasa telah melakukan pengabdian kepada Tuhan begitu lama dan menjadi suhu para malaikat. Karena kesombongan ia menjadi hina-dina, selamanya.
Nabi Adam merasa hina-dina karena penyesalan dosa (yang telah digariskan-Nya) hingga saja cucuran air mata yang dikeluarkannya jika ditakar beban beratnya dibanding air mata seluruh umat manusia akan lebih berat kadar tangis penyesalan Nabi Adam. Meski demikian, ada sepasang malaikat yang meremehkan perilaku anak Adam, Harut dan Marut: sepasang malaikat paling taat di antara koloni mahkluk cahaya. Dan apa endingnya? Keduanya terperosok ke lembah nista kemilau dan tipu-daya dunia.
Jika saja gurunya malaikat yang begitu alim dan telah taat ribuan tahun (iblis) karena jemawa mendapat laknat, bagaimana dengan kita?—yang lazimnya merasa telah bertakwa; meski tak jarang sekadar takwa pengertian tanpa pemaknaan esensi; mengerahkan seluruh instrumen lahir dan batin, merendahkan serta mengabdikannya sesuai anjuran Allah Yang Esa.
Allah menciptakan dosa sebagai rahmat kepada umat manusia yang bertakwa dan dengan menjauhinya diganjar pahala. Allah juga menyediakan pahala jadi un-faidah jika umat manusia enggan meraupnya. Meski dosa itu buruk, meski pahala itu baik, jika keduanya tidak diarahkan sesuai orbitnya jadi sia-sia.
Maka, ingatlah kembali dan mengaca kepada diri sendiri dengan mengajak nurani diskusi. Kita ini serupa remahan debu beterbangan yang tidak berharga—atau bahkan lebih kecil lagi. Kita yang merasa jago strata RT, desa, wilayah kabupaten, provinsi, negara atau bahkan dunia, maka lihatlah engkau dari kejauhan semesta sana menggunakan “Mata Raksasa”. Dunia yang dirasa begitu besar hanya serupa butiran debu, bahkan lebih kecil lagi dibanding galaksi lain yang membentang luas tak terbatas.
Jika engkau merasa memiliki segalanya, lihatlah mereka-mereka di luaran sana yang memiliki deretan mobil Eropa pintu dua dengan saldo yang seolah unlimited. Tentu engkau beralibi; “Mereka kaya raya, tapi ’kan kebanyakan non-muslim. Itu artinya, lebih beruntung saya?” Benar dan saya mengamini. Tapi apakah engkau tidak pernah mengidamkan bisa hidup seperti mereka: naik Lamborghini, Ferrari, bersarung, berpeci dan hobi otw ke masjid bareng istri berwajah cahaya dan begitu santun? Ah, ini yang dinamakan angan-angan muluk: mengimpikan sesuatu tanpa menakar potensi diri secara realistis.
Jika ternyata kehidupanmu saat ini hanya bermotor atau bahkan jalan kaki, wajib disyukuri. Memang berucap syukur itu mudah dan seringnya jiwa mudah memberontak jika dihadapkan kenyataan. Tapi jika keadaanmu saat ini, yang dirasa nelangsa perihal harta dunia—atau sejenisnya yang melenceng jauh dari batas imajiner garis impianmu, engkau yakini bahwa itu adalah kehendak dan pilihan terbaik Allah kepadamu, tentu pula bahasa “mengeluh” dan “mengaduh” tidak bakal dilontarkan. Yang ada engkau segera bersyukur bahwasannya dengan keterbatasan membuatmu lebih ringan untuk ingat Tuhan serta menyertakan segala kejadian adalah kehendak Tuhan.
Engkau yang saat ini dalam keterbatasan dan hanya jalan kaki, bayangkanlah dan lihatlah gambaran abstrak sesosok pemuda miskin yang berjalan gontai di tengah gurun dengan muka kusut berdebu, mata cekung, kulit kerontang dan nelangsa: sedang otw mencari seteguk dua teguk air di Oasis (entah di mana) untuk menyambung hidup menuju tempat yang tuju. Sedangkan tujuan umat manusia (termasuk engkau) adalah akhirat dan bekal akhirat merupakan pengejawantahan segala gerak-gerik di dunia melalui beragam tingkatan kedekatan dan pemahaman tentang Tuhan. Ada yang tampak hina di dunia ternyata di akhirat begitu mulia. Ada yang tampak mulia di dunia ternyata di akhirat tak lebih baik dari tinja.
Maka dari itu, tunduklah. Tundukkan wajah dan hatimu ke bawah diiringi kepasrahan diri bahwa tidak ada kuasa kebaikan mampu lahir dari serangkaian ke-diri-an kita yang masih bernyawa. Kebaikan yang dilakukan perlu disyukuri dan meyakini bahwa semua itu kehendak Allah untuk menggiring kita pada satu tempat tujuan mulia nan abadi: surga.
Dan seumpama diri kita melakukan dosa segeralah ke jalan yang lempang, jalan yang diridai. Ibaratnya, kita sedang berkendara dari Purwodadi ke Semarang, tentu kita pernah sesekali melawan arus larangan markah jalan dikarenakan jalan lurus kita berlubang parah dan digenangi air dalam; yang mana jika kita menerjangnya bisa jadi membuat kendaraan mudah oleng. Dan serupa itulah kehidupan manusia. Tidak pernah ada satu pun umat manusia tanpa melakukan dosa sejak awal sejarah kehidupan dicipta.
Nabi telah bersabda, “Jika kalian tidak berbuat dosa, maka Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa, lalu Allah memberikan ampunan kepada mereka.” (HR. Muslim, 2748 & 2749, Hilyatul Aulia, hadis ke-10349).
Maka wajar jika lantaran dosa, umat manusia menjadi mulia karena pertobatannya. Banyak kisah kekasih Allah sejak zaman klasik atau bahkan sebelum Masehi yang menjadi dekat dengan Allah setelah berlumuran dosa. Oleh karenanya, kita dilarang berkecil hati akan disiksa. Karena, sejatinya, kasih sayang Allah datang lebih dahulu ketimbang marah-Nya. Jika kita memohon ampun lebih dahulu dengan penuh ketulusan ketimbang menyepelekan dosa-dosa, insya Allah, pintu tempat mulia terbuka selebarnya. Kuncinya, jangan merasa diri kita hebat, bersih, suci atau sifat-sifat lain yang baik dan luhur yang kesemuanya itu hanya pantas tersemat kepada Allah.
Jika kita baik, sejatinya adalah kebaikan Allah. Jika kita santun, sejatinya adalah kesantunan Allah. Jika kita beriman dan bertakwa, maka itu tanda Allah menyayangi kita. Karena hanya orang yang disayang Allah yang diberi keimanan dan ketakwaan. Ini sangat berbeda dengan perihal rezeki: Allah memberikannya kepada siapa saja, muslim atau non-muslim. Bahkan jika ada tentang pertanyaan terselubung, “Kenapa mereka orang rata-rata jauh lebih kaya daripada muslim pada umumnya?” Karena pernah diterangkan dalam satu riwayat bahwa harta dunia itu sejatinya adalah sampah-sampah di gundukan gunungan sampah atau nilainya tak lebih berat ketimbang sayap nyamuk. Maka apakah Allah tega melihat hamba-Nya yang muslim memakan sampah-sampah dan rumah huniannya dipenuhi sampah?
Maka itu, segera lihat ke dalam matamu, mata batinmu dan waspadalah. Engkau sejatinya tak berharga dan jangan jemawa. Apalah artinya sebutir debu atau bahkan lebih kecil lagi jika itu adalah engkau yang tengah melata di tubuh bumi yang begitu mungil jika dilihat dari luar angkasa.
Menangis batinlah engkau di muka bumi dan tangisilah terus bagaimana nasibmu nanti. Harta, anak dan istri yang kau punya atau engkau banggakan akan engkau tinggal selamanya dan engkau akan segera tinggal lama di perut bumi dan kembali menjadi sebutir debu tak berharga lagi.
Jangan menunggu dan penasaran kapan tibanya hari kiamat. Karena jika engkau telah mati, maka itu adalah kiamat untukmu. Dan apa yang engkau lakukan saat bernyawa itulah bekalmu menuju kehidupan abadi yang telah menanti. Sering-seringlah meminta surga. Karena barang siapa saat di dunia meminta surga, maka seketika surga pun berdoa kepada Allah agar orang yang meminta untuk tinggal di dalamnya dimasukkan ke dalam belaian hangatnya.
Bersedihlah engkau di dunia ini. Karena awal kali menghirup hawa dunia engkau menyambutnya dengan jeritan kesedihan (tangisan), meski orang-orang di sekitarmu memancarkan rona bahagia. Khawatirlah engkau jika saat pamit dari dunia ini tanpa mengguratkan kesedihan dan tangisan yang mendalam untuk bersimpuh luruh menghamparkan sajadah kepasrahan di hadapan Tuhan.
Merengeklah kepada Allah agar nasib akhirmu diarahkan menuju muara pemberhentian yang diberkati, meski saat ini kehidupanmu masih sering mudah limbung dan terombang-ambing tanpa arah henti: serupa debu yang beterbangan diembus angin. (*)
EKO SAM, Founder BECIK.ID