Dukun Maju Mundur
Oleh A.S. Laksana
BECIK.ID—SATU hari di tahun 2016, renovasi TIM (Taman Ismail Marzuki) belum dimulai, kami makan nasi goreng di depan gerbangnya. Di dekat kami seorang peramal menggelar terpal. Ia lelaki Cina bertubuh kecil. Tidak ada yang mendatanginya; orang-orang hanya lalu lalang dan tidak tertarik meramalkan masa depan kepadanya. Mungkin perlu ada satu orang yang memulai.
“Selesai makan aku akan minta diramal,” saya berbisik kepada Adinda Luthvianti. “Kalau ada satu yang datang, orang-orang lain pasti datang.”
Saya hapal kecenderungan umum yang seperti itu. Jika ada yang memulai, orang-orang lain akan mengikuti.
Akhirnya justru Afrizal Malna yang datang lebih dulu; ia paling cepat selesai makan di antara kami berempat. Saya, Dinda, dan Hanafi menunggu giliran dan kami tertawa mendengar bunyi ramalan terhadap kartu pertama yang ditarik oleh Afrizal: tentang masa depan finansial. Rasa-rasanya akurat. Malam itu Afrizal seharusnya datang ke acara penghargaan Bakrie Award; ia memilih duduk ngobrol-ngobrol dengan kami dan melepaskan hadiah yang mestinya ia terima.
Tiga kartu remi selesai dibaca. Giliran saya menarik kartu pertama dari tumpukan yang disodorkan oleh si peramal.
Lelaki itu bersuara kecil dan nadanya tinggi. “Maju mundur!” katanya untuk kartu pertama saya. “Mau jadi dukun maju mundur.”
Aduh! Ini fitnah. Saya tidak pernah bercita-cita menjadi dukun. Dinda tertawa.
Saya lupa bunyi ramalan kartu kedua, tetapi saya ingat yang ketiga: “Pandai menasihati orang lain.”
Setelah kami berempat, peramal itu memesan nasi goreng. Sepasang remaja lelaki dan perempuan datang kepadanya dan si peramal meletakkan nasi gorengnya, beraksi lagi dengan suara kecilnya, membaca kartu-kartu. Si perempuan menyerah pada kartu pertama.
Ketika kami pulang, saat malam sudah larut, peramal itu masih menghadapi para pendatang berikutnya. Niat kami menjadi pemancing berhasil, tetapi sepanjang jalan pulang saya penasaran mengenai ramalan “maju mundur” yang ia katakan.
Mungkin karena saya belajar hipnosis. Yuyun Wardhana yang menjerumuskan saya.
Suatu hari, tiga belas tahun lalu, Yuyun menelepon: Pernah dengar tentang tapping, Bung? Dan besoknya ia datang ke rumah setelah saya menjawab belum, menjelaskan teknik mengetuk titik-titik meridian tubuh untuk membuang sampah-sampah emosi dan mengatasi simptom dengan menangani akar masalahnya.
Kedengarannya menarik dan masuk akal dan mudah dilakukan. Saya mempelajarinya dan menjerumuskan diri lebih jauh dengan Ericksonian Hypnosis. Mungkin dengan itu saya akan lebih memahami emosi dan psikologi manusia. Mungkin ia berguna bagi penciptaan karakter di dalam fiksi-fiksi saya kelak. Mungkin saya akan mendapatkan ide cerita berlimpah ruah dari orang-orang yang saya tangani.
Yuyun tetap setia dengan teknik tapping dan menekuninya hingga sekarang, menggunakannya untuk diri sendiri dan orang-orang lain. Saya sesekali masih menghipnotis teman yang ingin merasakan trance. Pak Peramal menyebut saya mau jadi dukun maju mundur.
Beberapa kali setelah malam itu saya mencoba menemuinya lagi jika berkunjung ke TIM, tetapi ia tak pernah saya lihat lagi. (*)
A.S. Laksana pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia telah menulis beberapa buku dan cerpen yang telah diterbitkan di berbagai media. Buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik 2004. Buku kumpulan cerpen lainnya Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, 2013 dan Si Janggut Mengencingi Herucakra, 2015.