Iman Budhi Santosa Mengajak Ziarah Tanah Jawa
Oleh Muhammad Lutfi
BECIK.ID—IMAN Budhi Santosa, sastrawan Indonesia yang karyanya menggebu-gebu menyisakan semangat untuk generasi selanjutnya; generasi milenial yang diharapkan mampu untuk membawa misi perubahan dan memerdekakan manusia lainnya; memerdekakan tidak dalam arti berperang dengan pedang, pistol, atau saling bertumpah darah. Hal seperti itu sangat munafik dan lemah. Tidak menunjukkan hakikat manusia yang memiliki nurani dan akal.
Seharusnya, perang bukanlah melalui pertumpahan nyawa dan darah. Perang yang sesungguhnya adalah perang melawan kebatilan dan nafsu diri manusia itu sendiri. Sifat gagah-gagahan dan sombong diri yang telah membuat manusia lupa tentang status sosial dan dirinya sebagai mahluk di dunia.
Tetapi ini berbeda dengan apa yang telah diserukan oleh penyair dari Yogyakarta yang bernama Iman Budhi Santosa. Penyair yang berkawan akrab dengan Emha dan Umbu Landu Paranggi kini telah tiada. Tetapi dia juga tak hidup dengan seenaknya saja. Dia telah meninggalkan sebuah amanat. Amanat bagi kita, orang tanah Jawa yang selalu mementingkan budaya dan estetika sosial.
Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk berani berbicara, ketika kata-kata tak sanggup untuk menidurkan kebencian, maka menulislah. Menulis adalah satu jalan alternatif untuk membangun kedamaian.
Muhammad Lutfi
Estetika sosial ini adalah kunci hidup dari orang Jawa. Manusia hidup saling menghormati dan menghargai keberadaan manusia yang lain. Ini yang disebut dengan falsafah “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Manusia ini kan dilahirkan dari ibu dan ayah yang berbeda. Tetapi ketika mereka telah berwujud di dunia, maka manusia lain, entah saudara, keluarga, maupun tetangga akan begitu senang menyambut kehadiran bayi. Wujud manusia ketika pertama ada di dunia. Bayi ditimang-timang dan dipeluk penuh kelembutan. Lalu terucap doa dan harapan optimis yang baik dari orang-orang. Ini adalah satu contoh dari sebuah simbol kerukunan.
Kerukunan itu sendiri adalah sebuah landasan kedamaian dari adanya kemajemukan. Siapa pun yang mampu membawa kerukunan, maka akan terlahir awal dari sebuah kedamaian. Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk berani berbicara, ketika kata-kata tak sanggup untuk menidurkan kebencian, maka menulislah. Menulis adalah satu jalan alternatif untuk membangun kedamaian.
Seperti kisah seorang resi bernama Walmiki. Dia adalah orang bijak nan pandai. Netral dalam segala hal. Tidak memihak dan tidak memusuhi manusia lain. Dia terima keberadaan manusia lainnya. Walmiki pula yang menuliskan sebuah perjalanan atau sebuah kisah bernama “Ramayana”. Ramayana adalah suatu kisah epik. Penuh makna dan syarat tentang pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan untuk selalu memikirkan tentang rakyat kecil dan manusia yang menjadi korban penindasan. Perjuangan untuk mencapai sebuah keadilan dan kedamaian dunia.
Walmiki tanpa sengaja menuliskan kisah ini. Narada yang pandai berkisah, turun di depan Walmiki. Dia sampaikan tentang kisah seorang manusia teladan yang bernama Rama. Walmiki terkesan dengan tokoh Rama tersebut. Lalu dia berdoa supaya dapat menulis sebuah kisah yang mengandung tauladan. Dia pun mendapat ilham untuk menuliskan kisah Ramayana. Sampai sekarang kisah tersebut dapat kita baca. Manusia yang tidak serakah dan tidak mementingkan duniawi, itulah Rama.
Rama di Jawa mungkin seperti Iman Budhi Santosa. Seorang muda yang berkelana di Yogyakarta. Berjalan di sepanjang jalan Malioboro. Tidak terpengaruh ingar-bingar dan keasyikan dunia. Mungkin ini yang disebut lelaku. Cara untuk menundukkan diri sendiri.
Ya, sebelum mewujudkan kedamaian, penting adanya upaya untuk menundukkan nafsu atau keinginan. Iman Budhi Santoso telah berhasil membangun kawah sastra yang elok, bersama Umbu, Emha, dan Ragil Suwarno, serta yang lainnya. Dia telah berjasa membangun suatu peradaban penting. Yang mana anak muda bisa belajar tentang menemukan makna adanya bayi terlahir ke dunia. Manusia bisa menyampaikan daya hidupnya yang positif, sehingga tidak merusak kawasan dan hak manusia lainnya. Manusia bisa menggunakan akal sehat untuk belajar dan memahami manusia lainnya.
Dalam buku kumpulan puisi “Ziarah Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa, Iman menyampaikan pesan pada sebuah puisi paling simbolik sekaligus menjadi judul dari buku karya maestro itu.
Ziarah Tanah Jawa
Tinggal satu jalan yang ditunjukkan kota-kota berdebu
pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa…”
menyusuri jejak ingas kemadu
merawat lempuyang sembukan yang makin jarang
memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman
dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam
Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah dengan kaki telanjang
biar pasir kerikil memijat kembali
telapak kakimu yang berkarat dan membesi
Disaksikan rumput ilalang, senyum dan tembang
kusinggahi makam nenek-moyang
tanpa bertanya siapa mereka
apakah keturunan matahari atau rembulan
apakah babad dan serat pernah mencatat atau menyebutkan
mungkin, lewat bunyi perkutut atau derkuku
mengejawantah lagi nasihat para wali
merasuk kembali papatah-petitih ke dalam puisi
merayakan sekuntum melati mekar
pada setiap hati sanubari
2009
Melalui puisi tersebut, Iman Budhi menyindir kita tentang arti penting orang Jawa. Sebagai manusia Jawa, budaya milenial sebenarnya telah meranggas budaya Jawa secara perlahan. Menyeret pada suatu arus yang bernama liberal hedonisme. Pada titik tertentu, arus itu akan berada pada arus yang lebih besar. Sehingga, mawas diri dan hati-hati saja, jangan sampai terseret arus tersebut.
Untuk tidak mau terseret dalam arus gelombang besar, banyak cara yang bisa dilakukan. Mungkin dengan berpegang erat pada sesuatu yang istilahnya sudah menjadi pasak bumi. Paku bumi dari Jawa. Siapa itu paku bumi tanah Jawa, saya pun sendiri masih kurang paham. Menurut Iman Budhi dalam puisinya, paku bumi itu adalah para wali dan leluhur kita. Mereka telah meninggalkan pesan dan nasihat penting untuk diolah dengan karsa, rasa, cipta, dan fokus. Tidak hanya olah pikir dan cipta saja, tetapi aspek lain itu harus pula diperhatikan.
Iman Budhi Santosa mengajak manusia Jawa untuk berziarah. Berziarah adalah mengunjungi. Mengunjungi tanah Jawa yang hampir punah tergerus arus perubahan yang kalah karena tekanan dan dorongan untuk meniru-niru asal arus tersebut. Iman Budhi memang telah meninggal, tetapi pesan mendalam dia tinggalkan untuk orang Jawa dari hasil lelaku tirakatnya di Yogyakarta.
Pesan tersebut harus benar-benar dipahami oleh manusia penerus di saat ini. Supaya tidak sia-sia seorang yang mencoba menyampaikan pesan melalui lelaku mengungkap makna tanah Jawa itu. (*)
Pati, 8 Januari 2021
MUHAMMAD LUTFI dalah seorang sastrawan yang lahir di Pati, pada tanggal 15 Oktober 1997. IG: Jenarlutfi18, tinggal di Desa Tanjungsrai, RT 01 RW 02, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.