K.H. Ahmad Minan Abdillah: Sosok Kiai Ahli Al-Qur’an yang Bercita-cita Kaya di Akhirat
BECIK.ID—KEPERGIAN Abah Minan Abdillah tentu mengguratkan banyak bentuk kesedihan mendalam bagi siapa pun yang pernah bersinggungan langsung dengan beliau. Banyak kisah istimewa tentangnya yang menyebar dan dituturkan secara lisan.
Hari ini, di momen kapundutnya beliau, sosok H. Mujibur Rachman Ma’mun, yang merupakan keponakan Abah Minan menuliskan kisah istimewa terkait beliau di laman Facebook pribadi. Berikutnya penuturannya….

Pertengahan ’90-an, almarhum Bapak saya merintis Yayasan Bina Yakin—sebuah lembaga yang konsen membina Yatama & Masakin di Kajen. Akhir ’90-an, di Kajen timur ada sebidang tanah yang cukup luas sedang ditawarkan untuk dijual, Bapak saya berinisiatif untuk membelinya, bakal dipakai untuk Pesantren Panti Bina Yakin.
Seharian muter-muter, sowan pada sesiapa agniya (orang-orang kaya) untuk ditawari berinfak atas pembelian tanah tersebut, dan alhamdulillah seharian itu dapat 2jt lebih, tapi masih jauh dari angka 8jt, harga tanah tersebut yang mesti ditebus.
Sore hari, sampailah Bapak saya di rumah Lek Minan, K.H. Ahmad Minan Abdillah, adik iparnya, kemudian disampaikan tujuan kedatangannya.
“Kirang pinten, Kak?” Lek Minan bertanya. (Kurang berapa, Kak?)
“Kurang akeh, ijek kurang 6jt-nan.” (Kurang banyak, masih kurang 6 jutaan.)
“Mpun, Kak. Kekurangannya kulo tutup sedoyo mawon.” (Sudah, Kak. Kekurangannya saya tutup semuanya.)
“Alhamdulillah.”
Kopi diseduh, jagong (ngobrol santuy) pun dilanjut. Bapak saya penasaran atas ‘kekayaan’ adik iparnya ini.
“Duitmu kok akeh, lagi bisnis opo saiki?” tanya Bapak saya. (Duitmu kok banyak, sedang bisnis apa sekarang?)
Lek Minan lalu bercerita… “Beberapa bulan ini aku merintis warung jamu, alhamdulillah laris banget, yang beli sampai antri. Tapi akhire aku malah wedi, Kak. Gusti Allah maringi rejekine kebanyakan, aku wedi nek mengko di akhirat bagianku berkurang gara-gara wis kakehan diparingno nek ndunyo. Aku pengen, sugihku mengko nek akhirat mawon, ampun sugeh teng ndunyo. Aku sampai ndungo berkali-kali agar larise dikurangi, nyuwun rejeki seng sedhengan wae, sak dermo cukup mawon.”
(Beberapa bulan ini aku merintis warung jamu, alhamdulillah laris banget, yang beli sampai antre. Tapi akhirnya aku malah takut, Kak. Gusti Allah memberi rezekinya kebanyakan. Aku takut jika nanti di akhirat bagianku berkurang gara-gara sudah kebanyakan diberikan di dunia. Aku ingin, kekayaanku nanti di akhirat saja, jangan kaya di dunia. Aku sampai berdoa berkali-kali agar larisnya dikurangi, minta rezeki yang sedang-sedang saja, secukupnya saja.)
Sesampai di rumah, Bapak saya nggremeng sama Ibuk, “Minan, adikmu iku, meski ijek enom kok pikirane wis temuwo, wis ora seneng dunyo.” (Minan, adikmu itu, meski masih muda kok sudah nyepuh, sudah gak senang dunia.)

Hari ini, Selasa 16 Februari 2021, jam 08.18 pagi tadi, Lek Minan kundhur dateng ngerso Gusti. Insyaallah akan disambut oleh keagungan Al-Qur’an, kitab suci yang dicintainya, yang dihafalnya sejak kecil dan terus didarasnya hingga kematian menjemput. Entah sudah berapa ribu huffadz yang hafalannya berkat bertalaqqi kepada beliau. Dan entah berapa ribu hafidz itu kemudian mengajarkan Al-Qur’an kepada santri-santrinya. Saya yakin, saat ini dan di akhirat kelak, Lek Minan betul-betul menjadi ‘orang kaya’, sesuai cita-citanya.