Keajaiban Kurban Pertama; Langsung Daftar Haji di Usia Muda
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—SEBENARNYA saya agak sedih di Hari Raya Kurban tahun ini. Karena, rutinan tahunan kali ini akan saya lewati tanpa kesaksian darah kambing yang mengalir dari keluarga kecil saya. Meski demikian, hal tersebut justru membuat hati saya mantap; dalam arti lain, berkurban sejatinya melegawakan hati untuk benar-benar rela berkorban demi kemaslahatan yang lebih esensial.
Jauh-jauh hari, saya telah memikirkan secara serius perihal keputusan kurban tahun ini. Yang mana, saya merasa eman jika melewati tahun ini tanpa berkurban. Di sisi lain, masjid di samping rumah saya juga sedang dalam proses renovasi dan telah memiliki hutang yang agak lumayan—saya paham keuangan masjid ini karena posisi saya adalah sekretaris pembangunan.
Sekian hari sekian minggu dalam selintas waktu, saya bertafakur. Kebiasaan rutinan kurban atau mengalokasikan budget hewan kurban untuk diinfakkan ke masjid?—meski sebenarnya setiap bulan saya juga telah mengalokasikan dana infak atas nama istri untuk masjid ini meski cuma berupa ribuan butir pasir.

Alhamdulillah, pilihan agak pelik dan baik tersebut diberikan alternatif oleh Guru saya, K.H. Annaj Muts Tsaqib beberapa minggu lalu. Beliau menyarankan, pilihlah pada hal yang bersifat monumental, bukan seremonial. Infak di masjid yang sedang membutuhkan akan seperti prasasti, tapi berkurban …?
Jujur saja, lamun toh para pengurban di dusun saya (bukan tingkat desa) yang tahun kemarin menginjak angka 35 kambing dan 4 sapi, kok tahun ini berkenan mengalokasikan budget kurban untuk menyumbang masjid, saya akan begitu bungah. Karena dana yang dibutuhkan untuk renovasi dengan jangka tiga tahun ini hampir senilai satu M—dan saat ini telah habis sekira ½ M dalam kurun hampir setahun.
Praduga adalah hal yang sah dan lumrah.
Eko Sam
Tapi, semua hal yang agak tidak lazim memerlukan pendekatan serius. Dan apalah daya, membiarkan seseorang pada pilihannya merupakan sebuah sikap penghormatan yang bijak.
Daftar Haji Berkah Kurban Pertama
Kebiasaan tahunan berkurban saya baru dimulai beberapa tahun usai menikah. Saya bukan orang berlebih hingga bisa gonta-ganti roda empat merek terbaru. Namun, saya telah melatih diri saya sejak muda untuk gemar bersedekah. Dan dengan cara tersebut, saya benar-benar percaya bahwa tidak akan pernah jatuh melarat orang yang gemar memberi.
Pilihan agar gemar bersedekah saya mulai sejak di bangku Aliyah. Yang mana, waktu itu, Kiai saya, K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah Kajen Pati, sering mewanti-wanti kepada santrinya agar melatih diri supaya senang bersedekah. Beliau berkata: “Meski kamu belum menikah, niati sedekahmu itu untuk anak-anak dan istrimu. Agar kelak kamu diberi keturunan yang salih salehah dan keluarga sakinah.”
Dan hal ajaib terjadi pada kurban pertama saya.
Waktu itu, usai melihat kambing kurban saya yang terlihat paling besar di halaman masjid, hati saya begitu berbunga-bunga. Maklum saja, kambing yang saya kurbankan waktu itu bisa buat beli 3 ekor kambing yang sudah layak untuk dibuat kurban. Namun, pilihan dan kemantapan hati saya memilih lain; lebih baik satu kambing tapi yang paling istimewa.
Ternyata, pilihan prinsip saya tersebut dibenarkan oleh Gus Baha.
Dalam salah satu tayangan YouTube beliau, beliau menyarankan agar orang Islam lebih memilih satu ekor kambing ketimbang satu sapi untuk tujuh orang.
Oh ya, kembali pada kisah kurban pertama saya …. Usai hati saya begitu berbunga-bunga, saya kok tiba-tiba mengantuk. Dan tidurlah saya.
Hari kurban yang jatuh pada Jumat itu, pagi hari menjelang siang, saya terbangun dari mimpi singkat yang begitu indah. Dalam mimpi tersebut, saya seolah-olah sedang berada di area perkemahan mabit para orang berhaji. Dalam mimpi tersebut, saya seperti digandeng oleh seseorang dengan jubah cokelat mirip ilustrasi malaikat yang kita ketahui sehari-hari.
Sosok berjubah tersebut terus menuntun dan menggandeng saya mengelilingi dan seolah menunjukkan betapa bahagianya orang yang bisa menginap saat berhaji. Setelahnya, sayup-sayup di kejauhan selatan sana … suara gemuruh syahadat dan menyebut-nyebut Nama Muhammad dari sekian banyak orang terdengar di telinga dan seketika menarik minat saya.
Mereka terdengar pada begitu padu dan bersemangat dengan nada kor yang serempak menunjukkan lokasi nama Nabi Muhammad berada. Sekonyong-konyong, saya gantian menggandeng sosok berjubah cokelat tersebut untuk segera mencari sumber suara ‘yang saya duga’ lokasi tersebut adalah tempat Beliau Kanjeng Nabi Muhammad sedang bertausiah.
Betapa agak menyesal saya. Hampir saja sampai di lokasi tersebut, sekira lari beberapa langkah, saya terbangun entah karena sebab apa.
Meski demikian, seketika ada hal lain yang begitu berbunga-bunga dalam dada saya. Di alam sadar, batin saya bergumam: “Saya ingin segera daftar haji. Saya ingin segera memiliki slot panggilan berangkat haji.”
Dan tersebutlah seperti di atas, meski saya bukan orang berlebih, tiga hari berikutnya, tepatnya hari Senin, saya dan istri sangat bersyukur bisa mewujudkan salah satu impian saya sebagai muslim—agenda berangkat haji.
Sedihnya, hari Senin tersebut saya dan istri merupakan pendaftar haji yang paling muda. Entah karena begitu muda, kami ditebak oleh para orang sepuh lain—yang sedang bareng mendaftar haji di hari tersebut—usai menjual tanah/sawah. Tapi biarlah. Praduga adalah hal yang sah dan lumrah. Dan tebakan tersebut membuat mesem saya dan istri saat perjalanan pulang.
Meski saat itu kami bahagia, sebenarnya ada yang terasa ngilu di hati saya. Kenapa yang mendaftar haji didominasi orang tua dan telah lansia? Di mana batang hidung para eksekutif muslim muda yang tampil begitu modis dengan background kinclong mobil kredit barunya di sosial media? ***
EKO SAM, founder becik.id