Ketika Matahari Terbit di Barat
Cerpen Eko Sam
BECIK.ID—KETIKA matahari terbit di barat, semua mimik terlihat berat. Yang bertingkah buruk ambruk, terjerembap dengan raut sembab. Yang berperangai baik tersungkur, mengucap banyak puji dan syukur. Mereka cemas. Semua cemas. Anjing, batu dan kemboja berhenti bersuara. Angin tenang. Suasana lengang. Hampa meruap di udara.
Namun, dalam batas pengecualian, seorang bocah mendadak terbahak histeris. Anakan capung yang ia potes kedua sayapnya dipantul-pantulkan ke udara. “Rasain. Siapa suruh nabrak mataku,” desisnya, menahan perih seraya memungut jaring capung yang ia sandarkan di bongkahan batu besar.
Seorang gadis yang tengah berciuman dengan karibnya mendadak menangis. Pak Tua berambut jarang dan agak pirang, mengenakan busana serbaputih yang bangun kesiangan hingga membuatnya alpa menunaikan kewajiban mendadak menangis. Mereka menangis. Semua menangis. Anjing, batu dan kemboja menangis dengan caranya masing-masing.
PADA mulanya, jauh-jauh hari, mereka terlena dengan pekabar yang telah sering mereka dengar: kiamat akan datang diawali dengan kemunculan matahari di barat. Dan juga, mereka mengira bahwasanya matahari akan muncul runtut, di pagi hari ketika mereka hendak sarapan atau mengguyur badan. Tapi tidak. Mereka keliru. Semua bayangan mereka meleset; matahari tak benar-benar muncul di pagi hari, matahari muncul di siang hari manakala mereka tengah mengerjakan rutinitas sehari-hari.
Di hari itu, ketika matahari terbit di barat, mendadak langit pucat dan waktu malas berlalu. Di langit ribuan malaikat dengan angkuh berkitaran ke sana-kemari. Burung-burung bermata merah menyala yang memagut batu api bergerumbul riuh, bertingkah seperti Jibril dan lainnya, terbang kian-kemari, siap siaga merajam siapa saja yang diketahui tengah terengah-engah. Untung saja, ya, untung saja gadis itu di dalam mobil.
Jaring laba-laba raksasa tiba-tiba saja melesat vertikal dan melumat sebuah musala kumuh, kemudian lepas landas secepat kilat. Ada sepasang capung sebesar kuda menggigit kedua lengan bocah yang memainkan capung itu dan menerbangkannya ke langit hingga tak terlihat, ada tujuh bidadari turun anggun dari balik awan kemudian berjalan lamban mendekati seekor anjing kudisan yang meringkuk kesakitan di samping tong sampah, ada kerikil sebesar kelereng melesat dan nyungsep ke dalam tengkorak mata Pak Tua hingga membuat matanya picak berdarah-darah.
Gadis di dalam mobil meraung-raung, bergegas keluar dengan membanting pintu. Karibnya, yang ia cumbu mendadak tewas mengenaskan: dua pahanya merekah dan muncul seekor kobra dengan mulut menganga menyemburkan api.
Dari kejauhan segerombol banci terbirit-birit mengejar gadis yang tengah berlari. Si gadis berlari mengejar segerombol orang. Segerombol orang berlari membelakangi matahari. Matahari diam saja.
Diam-diam seekor sapi bunting berdiri dari balik bongkahan batu besar itu, hendak berlari tapi tak jadi, hendak kembali duduk sudah tak ngantuk. Sapi berjalan perlahan dan dikuntiti kambing berjenggot lebat yang terus-menerus mengendus pantatnya penuh nafsu.
Dari kejauhan lain, perempuan paruh baya kepayahan. Kanan-kiri kakinya menyeret-nyeret keenam anak asuhnya yang lumpuh: berentengan memegangi pergelangan kakinya. Seorang bocah laki bau kencur mencambuki anak-anak itu. Anak-anak itu meraung melibihi lolongan anjing. Anjing kudisan yang tengah didekap para bidadari menjatuhkan air mata. Hatinya remuk.
Setangkai kemboja luruh, beterbangan dan menyelempit di antara sela telinga-kepala si gadis tatkala angin besar datang. Sampah, daun dan perkakas lain beterbangan menjadi arungan puting beliung. Seekor kobra memecahkan kaca depan mobil menggunakan mahkota emasnya yang runcing, kemudian melata menaiki bongkahan batu besar dan berubah bentuk menjadi sosok penyihir bertongkat lidi, berhidung mancung, bertaring runcing, bermata picak sebelah dan mengenakan pakaian serbahitam. Ia terbahak-bahak setelah itu seraya melemparkan topi kerucutnya ke udara dan menyulapnya menjadi belasan kupu-kupu berwarna kelabu.
Orang-orang berhenti berlari. Terperangah. Angin mendadak ciut nyali. Para malaikat dan burung-burung menjauh. Suasana kembali lengang. Kosong melompong.
“Akulah pemimpin kalian. Hahaha!”
Satu per satu orang-orang berjalan munduk-munduk, mengitari penyihir. Dengan pongah penyihir itu mengacungkan tongkatnya menusuk langit, ke arah para malaikat dan burung-burung yang tampak limbung.
“Pergi. Pergi kalian semua! Hahaha!”
Satu per satu yang-pada-terbang menghilang. Cling…! Orang-orang kian merunduk. Kemboja dan sejenisnya merunduk. Sapi dan kambing diam-diam juga ikut merunduk. Akan tetapi, anjing kudisan yang dikelilingi tujuh bidadari murka.
“Sudahlah, Tuan … biarkan dia seperti itu,” bidadari pertama mengawali.
“Iya, Tuan. Tak usah Tuan meluapkan kemarahan,” bidadari kedua menambahi.
“Tidak. Dia harus aku beri pelajaran!” timpal si anjing, menyalak-nyalak.
Dengan cekatan, usai lepas dari pelukan para bidadari, anjing itu berlari, melesat ke arah penyihir yang berkoar-koar nyinyir. Setapak demi setapak anjing itu meninggalkan jejak. Setelah memperkirakan jarak tempuhnya sedemikian dekat, anjing itu bergegas mengambil ancang-ancang melompat. Dan … Cuh!!! Dari atas kepala penyihir anjing itu meludah. Tepat mengenai wajah. Liur bacin beracun berletupan di wajah penyihir; kulitnya melepuh, dagingnya runtuh, sekujur tubuh dan pakaiannya tanggal—yang tampak hanya gemeletuk tengkoraknya tengah berkoar-koar tanpa suara di atas bongkahan batu di samping anjing berdiri.
Serentak orang-orang tercengang. Bidadari pada tersenyum. Di langit para malaikat dan burung-burung bermata merah menyala kembali mengudara.
“Waspadalah kalian setelah ini,” salak si anjing kepada kerumunan, sebelum ia melesat bersama para bidadari dan terbang meninggi ditelan langit.
DI LANGIT burung-burung bermata merah menyala melesatkan batu api, merubuhkan pohon-pohon, meruntuhkan bangunan-bangunan, membuat kubangan-kubangan berapi di tanah sebesar galian sumur. Orang-orang tunggang-langgang. Pak Tua, sapi dan kambing terperosok, kemudian terkubur beragam sampah yang menggumpal digulung puting beliung ke dalam kubangan itu. Satu per satu para malaikat hinggap di apa saja yang bisa dihinggapi. Burung-burung kembali turun ke bumi dan membentuk gerombolan. Angin kembali tenang.
Seorang bocah laki bau kencur pembawa cambuk mendadak ambruk-lumpuh di dekat kubangan. Keenam anak yang lumpuh bangkit, menyalangkan amarah kepada bocah laki, menyambukinya hingga memar dan kulitnya mengelupas. Perempuan paruh baya meronta-ronta ketika mengetahui anaknya didera. Sosok malaikat berwajah misterius dengan cekatan melesat ke arahnya dan menendangnya hingga terpelanting jauh.
Di mana tempat melengking jerit tangis orang-orang kesakitan. Belasan kupu-kupu berderet di udara dan membentuk huruf “U”, kemudian berubah menjadi sosok raksasa bersayap, bercula dua, menggenggam tombak runcing sekeras baja. Dari udara ia melesat, menghujamkan tombak pada burung-burung yang tengah lengah. Para malaikat geram. Burung-burung bermata merah menyala yang lain mengepakkan sayap, terbang ke langit, bergerumbul menjadi pusaran angin dan melumat raksasa itu, tak tersisa.
Dari arah matahari terbit, tampak sosok pemuda bertubuh cahaya sayup-sayup mengumandangkan azan. Di belakangnya berbaris sembilan sosok pemuda lain berdiri takzim. Susah-payah orang-orang berlarian mendekat. Penuh khidmat para malaikat berbaris di saf kedua. Burung-burung hinggap di bahu para malaikat. Usai azan pemuda bertubuh cahaya itu merentangkan kedua telapak tangannya ke langit, di hadapan bayang-bayang matahari. Lamat-lamat ia berdoa.
Di kejauhan si gadis kepayahan dikejar-kejar rangka penyihir menjauhi arah matahari. Sesekali ia tersandung batu. Sesekali rangka penyihir itu rusak, menjadi puingan tulang-belulang dan bangkit kembali. Terus menerus keduanya berlari, terjatuh, berlari, terjatuh. Tak henti-henti. Berhari-hari.
Ketika hari menginjak yang ketujuh langit terbelah. Kereta kencana yang kesemua rangkanya disepuh emas muncul dari sana. Dengan ditarik sepasang kuda putih bersayap jelita, kereta kencana diarahkan mengikuti si gadis berlari. Salah satu bidadari yang mengusirinya bertanya …
“Tuan, apa langsung saya rubuhkan mereka?”
“Jangan. Nanti dulu,” salak si anjing.
“Bagaimana kalau kita menapak, Tuan?” tanya salah satu bidadari yang duduk cemas bersama si anjing di dalam tandu.
“Ya.”
Kereta kencana melesat menapak tanah. Kaki-kaki kuda bersayap jelita memercikkan bara. Keempat roda kereta kencana menyemburkan api. Jejak jalan mengobarkan api. Si gadis dan tengkorak penyihir terbirit-birit.
“Sekarang, rubuhkan mereka!” perintah si anjing.
Si gadis dan tengkorak lumat bercampur tanah. Kereta kencana mendadak memutar haluan menuju kerumunan orang-orang setelah itu. Di langit berkelebat bendera hijau besar, meneduhi orang-orang yang berdiri bersaf-saf di belakang pemuda bertubuh cahaya.
“Tuan, apa ini sudah waktunya?” tanya bidadari ketiga.
“Ya. Mana terompetku.”
Tanpa berucap bidadari ketiga menyodorkan sepucuk benda mengilap yang dimaksudkan si anjing. Bidadari yang lain saling pandang cemas.
“Berhenti!” perintah si anjing.
Si anjing turun, lantas bergegas lari menuju kerumunan dan berancang-ancang menghirup udara sekuat tenaga. (*)
EKO SAM, founder becik.id Penulis buku Sabda Malaikat dan saat ini sedang menyiapkan buku kisah hikmah pertamanya, Ngaji Ngopi: Ngrembuk Lakon Urip – Sebuah Laku Kecil seorang Santri.