KH. Sahal Mahfudh dan Pedang Katana
Oleh Ahka Ahka
BECIK.ID—Katana merupakan (salah satu) pedang terbaik di muka bumi. Pedang dari Jepang ini jauh lebih unggul dari pedang-pedang lainnya, termasuk dari daratan Eropa yang juga memiliki sejarah panjang dalam persenjataan pedang. Sebagai contoh, pedang ini bisa menebas baju perang—hal yang sulit ditandingi oleh pedang yang lain.
Kenapa Katana bisa sehebat itu? Tak lain adalah karena kualitas bahan dan lamanya penempaan. Katana dibuat dari biji logam pilihan, yang oleh orang Jepang disebut dengan tamahagane. Dan penempaannya pun tidak seperti pedang-pedang yang lain. Dalam pembuatannya, Katana ditempa selama berbulan-bulan dengan sangat teliti dan detail.
Kita tidak memiliki Katana, yang kita punya adalah sabit dan parang. Meskipun sabit dan parang terbuat dari besi biasa, dan penempaannya pun hanya beberapa jam saja, namun asalkan kita asah terus tiap hari, ia akan tajam. Untuk memotong kayu yang keras pun akan mudah.
Begitulah, setidaknya ketajaman sebuah senjata dipengaruhi oleh dua hal: bahan dan penempaan. Sebagus apapun bahan sebuah pedang, kalau ia tidak ditempa dalam waktu yang lama, maka ia akan tumpul. Dan sebiasa apapun bahan sebuah pedang, kalau ia terus ditempa dan diasah, maka ia akan cukup tajam.
Sepertinya manusia juga seperti itu. Sebagus apapun gen atau nasab seseorang, kalau ia tidak serius dan bersungguh-sungguh dalam belajar, maka ia akan menjadi manusia yang biasa-biasa saja.
Dan sebaliknya, sebiasa apapun nasab seseorang, kalau ia serius dan bersungguh-sungguh dalam berusaha, maka ia akan menjadi manusia yang hebat.
Ibarat pedang, KH. MA. Sahal Mahfudh adalah Katana. Beliau dilahirkan dari gen/nasab yang unggul, dan terus ditempa sepanjang waktu. Sehingga jadilah ia seorang pribadi hebat yang sulit tertandingi.
Sedangkan kebanyakan kita-kita ini, ibarat parang, mungkin hanya parang yang terbuat dari biji besi biasa. Tapi asalkan terus diasah, yakinlah, ia tetap akan menjadi tajam yang dengan mudah menebas leher kambing kurban dengan sekali tebasan.
Dan jangan sampai parang yang hanya dari besi biasa ini kita biarkan tanpa diasah, sehingga hanya menjadi onggokan besi berkarat tak berguna. Na’udzu billah. (*)
Ahka Ahka, Pengajar di Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten, Jawa Tengah.