Kisah Haru Mengenang Mbah Najib
Oleh H. Muhammad Agung F. Aziz
BECIK.ID—KIRA-KIRA lebih 20 tahun lalu, saat menyambangi adik saya yang nyantri di Krapyak, adik memperkenalkan pada saya seorang sosok.
“Itu yang lewat tadi, dia Pak Najib,” ujar adik saya.
Santri Krapyak menyebut Kiai Najib memang hanya dengan sebutan Pak Najib. Saya merespon biasa-biasa saja. Yang disebut Pak Najib oleh adik saya itu seorang lelaki berperawakan dan berpenampilan tidak istimewa. Ia layaknya orang biasa. Patut diduga, mungkin ia hanya seorang staf pengajar di pesantren.
“Pak Najib itu siapa?” tanya saya, sekadar mengimbangi percakapan adik saya.
“Beliau cucu Mbah Munawir.”
Saya terkesiap dan terpana. Sungguh, siapa pun yang baru pertama kali berjumpa Pak Najib, mungkin tidak akan pernah menyangka beliau itu seorang alim, cucu Mbah Munawir—lantaran penampilannya yang memang sangat biasa.
Tahun-tahun selanjutnya, bila saya main-main ke Krapyak, Pak Najib tetap dalam kesederhanaannya.
Pernah saat zuhur, salat berjamaah di masjid pondok sedang berlangsung, saya yang juga masbuk, mendapati Pak Najib bergegas menuju masjid, seraya masih merapikan kancing di bajunya. Sampai di dalam masjid, Pak Najib lekas menyusul bergabung dengan santri-santri lain, berdiri di saf paling belakang.
Terakhir kali melihat wajah Pak Najib, mungkin 1,5 tahun lalu. Saya baru saja menyetok kitab di koperasi pondok. Saat hendak salat zuhur di masjid, saya berpapasan dengan Pak Najib. Refleks, saya bersikap layaknya seorang santri bertemu kiai; menunduk, mendekati dan hendak menyalami.
Tapi, beliau berpura-pura tidak melihat saya; sebuah sikap untuk menghindari penghormatan. Saya tetap mendekat, menyalami tangan beliau. Tapi, seperti biasa, beliau buru-buru menarik tangan sebelum saya sempat menciumnya.
Kini, beliau telah meninggalkan kita semua yang terbengong dan merasa kesepian. Allahumman-shur nafahatir ridlwani ‘alaih. Wa amiddana bi-asraril-lati auda’taha ladaih. (*)
H. Muhammad Agung F. Aziz, alumni pesantren NU di Kajen, Pati.