Kisah Sufi yang Menikah hingga 400 kali
BECIK.ID—DIA adalah Abu Abdallah Muhammad bin Khafif dari Syiraz, seorang sufi terkemuka pada zamannya dan pengarang berbagai risalah terkenal tentang beraneka ragam cabang tasawuf. Dia mempunyai pengaruh rohani yang besar dan tidak suka memperturutkan hawa nafsu.
Aku mendengar bahwa dia menikah empat ratus kali. Ini disebabkan oleh fakta bahwa dia adalah keturunan raja, dan bahwa sesudah bertobat, rakyat Syiraz sangat memuliakannya, dan putri-putri raja dan bangsawan ingin menikahinya demi mendapatkan barakah. Dia biasa memenuhi hasrat mereka, dan kemudian menceraikan mereka sebelum memenuhi kebutuhan perkawinan (persenggamaan-Penerj.)
Tetapi dalam masa hidupnya, empat puluh istri yang asing baginya (begana), dua atau tiga orang sekaligus, biasa melayaninya sebagai pelayan-pelayan (khadiman-i firasy), dan salah seorang dari mereka—ia adalah putri seorang wazir—hidup bersamanya selama empat puluh tahun.
Aku mendengar dari Abul Hasan Ali bin Bakran dari Syiraz bahwa suatu hari beberapa orang istrinya berkumpul bersama-sama, dan masing-masing menceritakan sesuatu mengenai dia (Khafif). Mereka semua sepakat sese nunquam eum vidisse libidini obsequentem (mereka memperkuat kata satu sama lain bahwa dalam hidup mereka belum pernah mereka melihat atau merasakan perlakuan yang demikian lembut penuh kasih sayang).
Sampai saat itu, setiap orang di antara mereka yakin bahwa dialah (putri wazir) yang diperlakukan secara istimewa dalam hubungan ini, dan ketika mereka tahu bahwa perilaku Syekh sama terhadap mereka semua, mereka merasa heran dan sangsi apakah yang demikian benar adanya. Karena itu, mereka mengutus dua orang dari mereka untuk menanyakan kepada sang putri wazir, yang paling dicintai Syekh, perihal perlakuannya terhadap sang putri wazir itu.
Ia menjawab: “Ketika Syekh mengawiniku dan aku diberitahu bahwa dia akan mengunjungiku pada malam itu, aku sediakan santapan yang lezat dan menghias diriku seelok-eloknya. Begitu dia datang dan makanan tersajikan, dia memanggilku dan memandang sesaat, pertama kepadaku dan kemudian kepada makanan. Lalu dia memegang tanganku dan memasukkannya ke dalam lengan bajunya. Dari dada sampai pusatnya ternyata ada lima belas utas tali (‘aql). Dia berkata, ‘Bertanyalah kepadaku apakah ini semua’; maka bertanyalah aku kepadanya dan dia menjawab, ‘Itu adalah tali-tali yang terbuat dari dukacita keberpantanganku terhadap wajah seperti ini dan makanan-makanan seperti ini.’ Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya pergi begitu saja; dan itulah segenap keakrabanku dengannya.” (*)
Dinukil dari Kitab Kasyful Mahjub karya Imam Al-Hujwiri.