Konten Radikal
Oleh AS Laksana
Mestinya pers tidak mudah percaya begitu saja pada apa yang disampaikan oleh pemerintah. Jika pers hanya menadahi apa-apa yang disampaikan pemerintah, ia tanpa sadar hanya merestui pemerintah menjadi penafsir tunggal untuk urusan-urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kita tidak bisa membiarkan pemerintah menjadi penafsir tunggal. Itu akan membuatnya sewenang-wenang.
Sejumlah hal tidak terjawab dalam berita CNN Indonesia ini: Apa yang dikategorikan dalam konten radikal? Mengapa ia disebut radikal? Apa saja contoh konten radikal itu? Benarkah konten-konten itu memang radikal?Jika benar, bagaimana konten-konten itu bisa menyusup ke dalam buku pelajaran sekolah? Siapa yang bertanggung jawab terhadap lolosnya konten yang dianggap radikal? Sejak kapan konten-konten radikal itu mulai menyusup ke dalam buku-buku pelajaran?
Lalu, bagaimana orang tua murid memandang konten itu? Apakah menurut mereka itu betul-betul konten radikal? Apa asprirasi publik tentang pendidikan dan apa kritik mereka jika itu benar-benar konten radikal? Dan seperti apa pelajaran agama yang sesuai konteks zaman?
Masyarakat memerlukan, paling tidak, informasi minimum yang bisa menjawab keingintahuan mereka. Untuk informasi minimum itu, pers sebetulnya sudah punya formula 5W 1H. Dengan menjadikan itu sebagai patokan standar saja, publik niscaya mendapatkan informasi yang cukup memadai dan ditulis dengan mempertimbangkan “covering both side”. (*)
AS Laksana pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia telah menulis beberapa buku dan cerpen yang telah diterbitkan di berbagai media. Buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik 2004. Buku kumpulan cerpen lainnya Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, 2013 dan Si Janggut Mengencingi Herucakra, 2015.