Kopiah dan Kewibawaan Penutup Kepala
“Jika ingin wibawamu tidak hilang, jangan sampai tidak memakai penutup kepala.”
Syekh Abdullah Zein Salam
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—MUNGKIN terdengar aneh jika ada seseorang mau mengamati dalam diam terhadap perilaku gurunya hingga belasan tahun di zaman yang penuh kebendaan dan serbaglamor macam ini. Tapi nyata, satu perilaku ini benar-benar saya amati dengan sungguh-sungguh tentang alasan kenapa guru saya, K.H. Annajmuts Tsaqib, senantiasa memakai kopiah sebagai penutup kepala; di mana pun, kapan pun.
Jumat 17/3/2023, adalah rutinitas saya dalam mengikuti selapanan “Ngaji Ngopi: Ngrembuk Lakon Urip ke-40 dalam rangka haul Syekh Abdullah Zein Salam ke-22”. Seperti biasa, setelah rampung pembacaan dan pembahasan hadis ke-33 dan 34 kitab Majalisus Saniyah adalah sesi bebas; bebas tanya jawab, bebas curhat dan tentu bebas merokok, nyemil, serta ngopi-ngopi.
Di sela-sela waktu santai tersebut saya bertanya kepada beliau, “Mohon maaf, Pak Tsaqib. Setelah saya amati bertahun-tahun, saat keluar rumah panjenengan kok tidak pernah saya lihat melepas kopiah sebagai penutup kepala? Bahkan, pernah berkirim foto ke saya sekali waktu saat dinas sebagai kepala desa atau sebagai pionir D’Master * juga selalu memakai kopiah.”
Mendengar pertanyaan yang ternyata baru pertama kali didengar, raut wajah beliau bertambah semringah. Kemudian beliau bertanya kepada para santri dan para sepuh yang mengikuti acara selapanan Jumat malam Sabtu Pon ini dengan serius.
“Ayo, Kang Santri … Apa sampean pernah melihat saya tidak memakai penutup kepala saat keluar rumah?”
Para santri celingak-celinguk, tolah-toleh dan mungkin kaget dengan pertanyaan sederhana saya yang luput dari pengamatan mereka selama di pondok. Dan kesimpulannya, mereka menjawab tidak pernah.
Kemudian pertanyaan beliau dilemparkan kepada para sepuh dan bapak-bapak yang sering mengikuti pengajian beliau, apa pun itu. Mereka juga kompak menjawab, tidak pernah melihat Gus Tsaqib keluar rumah tanpa menutup kepala.
Hingga akhirnya beliau Gus Tsaqib berkata, “Kebiasaan memakai kopiah ini, saya justru kebablasan. Hingga saja, saat berada di WC pun juga berkopiah. Kebiasaan ini telah berlangsung lama. Bahkan saat saya kuliah psikologi di UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta pun juga berkopiah.”
“Seharusnya saya punya kopiah khusus untuk masuk WC,” lanjut beliau panjang lebar. “Mungkin saat ini ada 7 atau 8 kopiah yang saya miliki dan saya pakai bergantian. Bahkan, saat tidur pun saya juga berkopiah. Namun di alam bawah sadar, saat sudah terlelap, kopiah itu dilepas sendiri oleh tangan saya atau lepas dengan sendirinya.”
“Awalnya saya merasa aneh dengan laku Simbah (Syekh Abdullah Zein Salam, kakek beliau). Setiap kali cucu-cucu beliau berkumpul bersama bareng beliau, saya sendiri yang dikasih kopiah. Padahal cucu yang lain dikasih barang-barang mewah semisal jam tangan bermerek, jas, jam weker klasik, juga sarung. Sempat pula seusai Simbah pulang haji tahun 1983 saya justru dikasih baju kemben antik yang digunakan para pemain ketoprak.”
“Terhadap cucu-cucu Simbah, beliau memanggil dengan julukan yang berbeda-beda. Misalnya saya, saya dijuluki Simbah sebagai ‘Nang Kodo’ (Laku anak yang unik karena keluar dari kebiasaan umum. Seperti laku Gus Tsaqib saat ini yang telah dua periode menjadi lurah plus kiai).”
Dalam keterangan beliau yang begitu panjang dan runtut saya semakin khidmat untuk menyimak. Beliau pun melanjutkan, “Nasihatnya Simbah, ‘Kepingin wibawamu ora ilang, ojo nggundul.’ (Jika ingin wibawamu tidak hilang, jangan sampai tidak memakai penutup kepala). Dan mungkin ini yang menjadi landasan saya secara tanpa sadar senantiasa memakai kopiah. Meski pula, di suatu acara yang khusus saya sesekali memakai topi. Tapi intensitas ini sangat jarang sekali.”
Saya pun hanyut ke dalam tuturan beliau yang sangat ramah ini. Kemudian, saat hendak menuliskan kisah istimewa ini saya mencoba merefleksi kepada diri sendiri. Benar saja, sejak lulus dari Mathali’ul Falah Kajen Pati, saya memang semakin intens memakai penutup kepala; bisa dibilang tanpa sesaat pun saat keluar rumah tanpa penutup kepala. Bahkan saat di kampus UIN Jogja saya juga selalu memakai topi ala sastrawan santun Sapardi Djoko Damono dan sepertinya saya termasuk generasi awal di kampus yang menyemarakkan memakai topi ini, meski sebenarnya sejak di MTs saya lebih suka memakai kupluk ala Krisyanto, vokalis band Jamrud. Saat saya berkelana sendiri di kampus impian saya UI Depok untuk mendaftar sebagai mahasiswa baru di fisipol juga memakai tutup kepala ala vokalis tersebut.
Dan kini saya telah menikah dan beranak pinak. Ke mana-mana masih memakai penutup kepala. Malam hari dan meski mengendarai mobil pun juga demikian. Di kecamatan tempat tinggal saya, saya mengamati belasan tahun silam, kayaknya hanya saya yang pertama kali seliweran memakai topi pet ala Sapardi, meski sekarang sudah mulai umum. Dan sepertinya, sebentar lagi saya akan berganti topi sebagaimana yang dipakai Duta, vokalis kharismatik Sheila on 7. Tapi ternyata istri menolak, katanya: tidak pantas. Entahlah, penutup yang saya kenakan saat ini sebenarnya bukan hal yang esensial seperti yang dimaksud Mbah Dullah, Syekh Abdullah Zein Salam.
Yang esensial dari menutup kepala adalah menutupnya dengan kopiah atau berpeci, dengan beragam makna tersirat yang ada di dalamnya. Karena saya yakin, orang yang berpeci atau memakai kopiah terasa sangat tidak pantas sekali jika suatu waktu kok tiba-tiba “mampir” di warung remang-remang atau kelap-kelip bilik karaoke. Jika orang tersebut masih memakai penutup kepala macam saya, justru sangat pede jika menyinggahinya. Dan kebiasaan ini, mengganti topi menjadi peci/kopiah, sebenarnya yang hendak saya jalani. Tapi saya belum berani, semoga suatu nanti.
Memang benar, dengan memakai penutup kepala, entah sugesti dari mana, saya merasa bertambah berwibawa. Jika tidak demikian, saya merasa memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Dan apa yang disampaikan oleh Syekh Abdullah Zein Salam kepada cucunya, semoga benar-benar segera menular ke saya dan sidang pembaca; bukan dalam bentuk penutup kepala modis biasa, tapi kopiah/peci.
KEMARIN malam, sahabat dekat, karib, sekaligus “Pelopor Safari Silaturahmi Pengobatan Gratis dan Ziarah Seribu Wali se-Indonesia” yang senantiasa ingin diakui sebagai murid beliau Gus Tsaqib tapi masih belum di-acc hingga kini, Gus Zainal Santri Ndeso aka Washilah Sakti berkunjung ke rumah saya dan kami ngobrol ngalor-ngidul hingga dinihari. Beliau bercerita tentang banyak hal, di antaranya tentang satu perihal yang tampak sepele namun tanpa sadar senantiasa diupayakan agar bisa dijalani secara istikamah. Katanya, suatu ketika Gus Tsaqib pernah berseloroh kepadanya, “Saat ke kamar mandi (entah untuk hajat apa pun), kenapa tidak sekalian berwudu?” (*)
* D’Master adalah Dauroh Masakan Sambal Terong, sebuah paguyuban nirlaba para putra kiai di kabupaten Grobogan yang awal didirikannya sebagai ajang kumpul para gus untuk masak sambal terong—dimasak sendiri oleh para gus kemudian disantap bersama. D’Master hingga saat ini saya rasa merupakan sebuah paguyuban paling “angker” di Grobogan, bahkan memiliki tempat tersendiri di hati para pemangku kebijakan, misal saja bupati dan instansi besar terkait. Paguyuban para gus ini terilhami saat memperingati 41 hari meninggalnya kiai saya saat MTs, K.H. Ahmad Rodli, di Ponpes Assalaf Jeketro Gubug Grobogan, dan diinisiasi oleh tiga gus yang merasa “asing” dari para kiai sepuh saat menghadiri acara 41 hari tersebut. Nama D’Master juga muncul atas gagasan Gus Tsaqib.
EKO SAM, founder becik.id Penulis buku Sabda Malaikat, 2019 dan Ngaji Ngopi: Ngrembuk Lakon Urip — Sebuah Laku Kecil Seorang Santri, 2023.