Mahli Rumi
Oleh Ilham Wahyudi
DIA umpama rasa bahagia yang terbit karena doa-doa di malam yang sunyi menjadi makbul. Dia seperti pahlawan yang berhasil membebaskan tanah airnya dari penjajah. Dia serupa napas yang menggerakkan seluruh sendi kehidupan negeri. Dia bagai kekasih semua orang yang merindukan budi pekerti.
NAMANYA Mahli Rumi. Sebelum dia lahir, ibunya sering bermimpi menggenggam permata yang berkilauan. Tak sedikit orang ingin merampas permata itu dari tangan ibunya. Namun, semua gagal. Mimpi aneh itu belum sempat diceritakan padanya. Sebab sehabis melahirkannya, ibunya meninggal dunia. Sedangkan ayahnya sudah tiada sejak dia berusia 3 bulan dalam kandungan. Mahli yang yatim-piatu diasuh neneknya sampai berusia 15 tahun. Setelah neneknya meninggal hingga sekarang usianya 21 tahun, sudah dua kali dia berpindah tempat tinggal. Yang terakhir dia tinggal di gubuk belakang rumah Tuan Badrun.
Tuan Badrun seorang pandai besi. Hasil karyanya sudah diakui antero negeri. Panglima perang, para pendekar, termasuk perompak terkejam sudah mencoba tajamnya pedang buatannya. Sayang, kemasyhuran Tuan Badrun masih bercela. Apa hal? Apalagi kalau bukan perkara keturunan. 25 tahun menikah tak seorang anak lahir dari rahim istrinya. Mungkin itulah pasalnya Tuan Badrun tak menawar satu dirham pun tatkala membeli Mahli seharga 500 dirham. Padahal biasanya harga seorang budak tak lebih dari 100 dirham.
Lantas, bagaimana ceritanya Mahli menjadi budak?
Selepas nenek Mahli meninggal, Mahli hidup menggelandang beberapa waktu. Sampai akhirnya seorang lelaki paruh baya menemukannya. Awalnya lelaki itu menawarkan Mahli makanan lantaran kasihan melihat Mahli kelaparan. Ia mengaku seorang peracik minyak wangi. Ia berhasrat ingin mengangkat Mahli menjadi anak. Bersebab itulah Mahli pun mengangguk setuju ketika lelaki itu mengajak tinggal di rumahnya.
Selama tinggal bersama lelaki itu, Mahli mengerjakan semua yang diperintahkan. Bahkan ketika lelaki itu meminta Mahli belajar meracik minyak wangi, dengan senang hati Mahli menurutinya. Mahli tergolong anak cerdas. Tak perlu waktu lama bagi Mahli mahir meracik minyak wangi kualitas terbaik. Sehingga lelaki itu akhirnya benar-benar jatuh hati pada Mahli.
Akan tetapi, setelah beberapa tahun berlalu—entah setan apa yang membisikkannya—lelaki itu tiba-tiba saja ingin menjual Mahli. Dengan alasan hendak berdagang minyak wangi, diajaknya Mahli ke pasar. Tetapi sesampainya di pasar, ia malah menjual Mahli sebagai budak. Mahli tak kuasa melawan, karena merasa berhutang budi.
Namun, tak lama setelah lelaki itu menjual Mahli, ia ditemukan tewas dengan luka tusuk yang tak terhitung di sekujur tubuhnya. Seperti habis dianiaya sekumpulan perompak.
SEBAGAI budak di rumah Tuan Badrun, Mahli terbilang rajin. Mahli juga sangat rapi dan telaten dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Tak sekali pun dia membuat kesalahan atau kecerobohan saat Tuan Badrun memerintahnya. Begitu pula tatkala Mustika, istri Tuan Badrun menyuruhnya ke pasar membeli kebutuhan sehari-hari, juga ketika mencari kayu di pinggir hutan, dia selalu sigap melaksanakannya.
Pernah sekali waktu Tuan Badrun menyuruh Mahli mengantarkan pedang pesanan seorang perompak. Tempat yang akan Mahli tuju sesungguhnya sangat jauh dan berbahaya. Tetapi tak sedikit pun dia merasa gentar. Justru dia bisa sampai lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Walaupun dia belum pernah ke tempat itu sama sekali. Sebetulnya Tuan Badrun tidak begitu saja memercayai Mahli. Tetapi setelah diujinya ciri-ciri si pemesan pedang, Tuan Badrun akhirnya percaya. Semenjak itu, Mahli bulat mendapatkan kepercayaan Tuan Badrun.
Sifat Mahli yang rajin tidak hanya kepada keluarga Tuan Badrun semata. Setiap kali Mahli ke pasar, dia selalu rajin membantu orang banyak. Dia tak segan mengangkati barang belanjaan orang yang sedang kewalahan, atau mendahului pesanan orang yang lebih tua serta para wanita. Dia juga sering membantu para pedagang pasar ketika mereka baru mulai membuka toko.
Cerita tentang kebaikan Mahli yang rajin membantu sudah lama menyebar ke seluruh negeri. Alhasil setiap kali berjumpa dengan Mahli, orang-orang tak sungkan meminta pertolongannya. Perihal apa saja. Tak pernah sekalipun Mahli menolak. Dengan gembira dia selalu cekatan menolong. Ditambah lagi Mahli tidak pernah meminta bayaran. Pun tak menerima bayaran meski mereka ingin membayarnya.
Mengetahui Mahli disukai banyak orang, Tuan Badrun sungguh senang. Ia merasa benar membayar mahal saat membeli Mahli dulu. Terlebih lagi, Mahli sering pula memuji kebaikan Tuan Badrun kepada orang banyak. Mustika juga sangat bahagia adanya Mahli di tengah mereka. Malahan ia yang meminta suaminya mengangkat Mahli menjadi anak. Tentu Tuan Badrun setuju. Mahli pun tak lagi tidur di gubuk belakang rumah Tuan Badrun.
Biasanya setiap petang setelah semua pekerjaannya di rumah Tuan Badrun selesai dia kerjakan, Mahli sering berkeliling. Saat itulah orang-orang kerap meminta bantuannya.
“Mahli, bisakah kau memasukkan benang ke lubang jarum ini?” kata seorang Ibu yang sedang menjahit pakaian kala Mahli lewat di depan rumahnya.
Lain waktu, seorang anak kecil pula yang minta tolong.
“Kak Mahli, boleh tidak ambilkan aku buah itu?” tunjuk anak itu ke pohon jambu.
“Baiklah adik kecil. Engkau mau berapa?”
“Cukup satu saja, Kak.”
Begitulah Mahli, apa saja dia lakukan untuk membantu orang lain. Bukan hanya perkara-perkara sepele seperti cerita di atas. Menyembelih kambing, menebang pohon besar, sampai menyelamatkan seorang gadis yang mau diperkosa perompak, tak ragu Mahli lakukan. Baginya membuat orang tersenyum bahagia adalah kewajiban.
Selanjutnya, semakin tahun berganti, orang-orang pun mulai bergantung pada Mahli. Apa-apa harus Mahli yang membantu. Sontak semua orang berlomba-lomba ingin merasakan kebaikan hati Mahli. Kalau dulu biasanya saat Mahli lewat di depan rumah, barulah mereka minta bantuan. Kini mereka tak sungkan langsung mencari Mahli untuk meminta bantuan. Meskipun hanya sekadar mengupas kulit mangga.
Tak ada yang mereka ceritakan sepanjang hari kecuali kebaikan hati Mahli. Di majelis-majelis, di pasar-pasar, di depan rumah, di meja makan, di dapur, bahkan di kasur menjelang tidur, Mahli tak luput mereka ceritakan. Hanya Mahli yang ingin mereka temui setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detik.
Syahdan. Mahli pun bak buah matang di pokok. Siap dipetik oleh siapa saja. Para orang tua mulai berangan-angan menjadikan Mahli menantu. Begitu pula dengan para janda. Dan dahsyatnya lagi, berapa pun mahar yang Tuan Badrun minta, mereka siap menyanggupinya.
Tuan Badrun bingung. Setiap hari ada saja orang datang membawa anak gadisnya melamar Mahli. Para janda juga tak mau kalah, mereka datang sendiri melamar Mahli. Begitu setiap hari. Kalau bukan karena tawaran mahar mereka yang gila-gilaan, mungkin Tuan Badrun sudah menutup pintu rapat-rapat.
“2000 dinar dan 5000 dirham serta 200 kuda terbaik saya siapkan sebagai mahar Tuan Badrun.”
Jantung Tuan Badrun berdebar kencang mendengar tawaran seorang janda di hadapannya. Tapi ia merasa masih bisa mendapatkan mahar yang lebih tinggi. Dengan sopan ia pun menampik.
“Baiklah saya akan tanyakan pada Mahli dulu.”
Sungguh, tak pernah sekali pun Tuan Badrun menanyakan kesediaan Mahli. Mustika juga tak ia libatkan. Tuan Badrun benar-benar sudah diselimuti keserakahan. Ia seperti sedang menjual anak angkatnya sendiri.
BERITA mengenai Mahli menjadi rebutan akhirnya sampai juga ke telinga raja. Karena penasaran dengan sosok Mahli, raja memanggil keluarga Tuan Badrun ke istana.
Sesampainya di istana, raja yang penasaran buru-buru keluar dari kamar menuju pintu gerbang istana. Namun, betapa terkejut ia tatkala melihat rupa Mahli.
“Benar kau adalah Mahli Rumi yang diperebutkan gadis dan para janda?”
“Benar Yang Mulia.”
Runtuh semua yang ia bayangkan tentang Mahli. Bagaimana tidak. Mahli dalam bayangannya ialah lelaki amat tampan yang mungkin saja setara Yusuf Yang Mulia. Namun, kenyataannya sungguh berbeda, Mahli yang ia saksikan tak lebih hanya seorang lelaki biasa. Kecewa dengan apa yang ia lihat, raja buru-buru kembali masuk ke dalam kamar.
Di kamar, ketika sedang melepaskan jubahnya, Zulai putrinya masuk.
“Ayah, benarkah kau mengundang Mahli Rumi ke istana?”
Raja bingung melihat wajah putrinya begitu bahagia.
“Benar putriku.”
“Ayah, selama hidupku tak sekalipun aku pernah meminta. Kali ini bolehkah aku meminta sesuatu?”
Raja semakin bingung dengan tingkah putri Zulai. Tapi tak ingin membuat putrinya bersedih, ia menyilakannya.
“Boleh. Sebutkan saja apa permintaanmu, putriku!”
“Aku ingin Ayah menikahkanku pada Mahli Rumi.”
“Apa?” raja terkesiap. “Putriku, Ayah tahu memang banyak orang yang ingin menikah dengannya. Tapi, Ayah masih mampu mencarikanmu lelaki yang lebih tampan dan lebih baik. Menurut Ayah, ia hanya lelaki biasa. Tak pantas putri raja sepertimu menikah dengan orang biasa seperti dia.”
“Namun aku menginginkannya, Ayah. Sebab apa yang aku lihat darinya tidak terlihat oleh Ayah. Dia lelaki yang sangat sopan memperlakukan wanita. Lagi pula Mahli Rumi yang menyelamatkanku tempo hari dari perompak yang coba memerkosaku. Ayah masih ingat ketika aku diam-diam keluar dari istana? Sesungguhnya aku ingin bertemu dengannya. Tetapi aku malah bertemu perompak. Nasib baik, aku diselamatkannya Ayah.”
Raja terperanjat mendengar cerita putrinya. Tak mampu lagi ia berkata-kata. Ia pun takluk pada permintaan putri Zulai.
HARI yang dinanti akhirnya tiba. Seluruh negeri bersukacita ketika putri Zulai resmi menikah dengan Mahli Rumi. Pesta 7 hari 7 malam pun di gelar. Semua makanan dan hiburan terbaik dikeluarkan dari dalam istana. Tiada sekat antara pejabat istana dengan rakyat jelata. Semua larut dalam sukacita.
Di antara riuh pesta yang meriah, Tuan Badrun mendekati raja dan berbisik, “Yang Mulia, kapan kau angkat aku menjadi menteri pertahanan? Bukankah anakku telah sah menjadi menantu Yang Mulia.”
Sambil menarik tangan Tuan Badrun ke tengah pesta, raja balas berbisik, ”Setelah pesta ini selesai aku akan umumkan Badrun!”
Demikianlah, takdir baik-buruk adalah mempelai misteri. Tuan Badrun yang kini besan raja ingin membuat perayaan atas terpilihnya ia menjadi menteri pertahanan. Di sela-sela perayaannya yang mewah, Tuan Badrun terlampau bahagia sampai tak sengaja menelan buah anggur yang cukup besar. Akibatnya ia pun sulit bernapas. Orang-orang coba menolongnya. Namun takdir berkata lain. Ia tewas tercekik buah anggur.
Sementara itu, di saat yang bersamaan, Mahli yang sedang menyiapkan makanan kesukaan istrinya terkejut ketika mendapati Zulai tercinta mengambang di permukaan kolam istana. Sepertinya terpeleset dan tak ada yang menolong sampai napasnya habis di tenggorokan.
BEGITULAH, setelah kemalangan bertubi-tubi menerjang Mahli, kesedihan begitu betah bersemayam di jiwanya. Sulit sekali Mahli mengusir bayang-bayang putri Zulai dari pikirannya. Sehingga di suatu sore yang mendung, tanpa membawa sedikit pun bekal, Mahli pergi meninggalkan istana. Pergi menuju entah.
Raja dan seluruh penduduk negeri semakin bersedih setelah mengetahui kepergian Mahli. Kini negeri itu seperti negeri yang mati. Semua melamuni nasib. Nasib Mahli. Dan semua menunggu kabar. Kabar Mahli Rumi!
Surabaya, 2020

ILHAM WAHYUDI, lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan penggemar berat Chelsea Football Club. Beberapa cerpennya telah dimuat dan ditolak redaktur. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.