Menjadi Jangkrik
Cerpen Benny Arnas
BECIK.ID—PADA akhirnya, cara paling indah untuk melawan kebohongan yang dimaklumatkan dan dilegalkan adalah dengan mengabaikannya.
Begitu yang kudengar dari suamiku, seorang pengarang yang pada awalnya cukup lantang menyuarakan penolakannya terhadap kehadiran raksasa berkulit daging pisang, berambut akar jagung, dan bermata juling yang ke mana-mana selalu membawa uang. Raksasa itu, kata suamiku lagi, sedang membangun banyak kerajaan, di berbagai tempat, di sejumlah kesempatan. Namun aku tak habis pikir, apa yang ia cari di ladang yang tampak hijau dan berkilau dari jauh, namun kerontang dan penuh dengan jangkrik bila malam tiba.
Ladang itu bernama sastra.
Mengapa harus kita abaikan, suamiku?
Kita tak ingin menjadi jangkrik, jawab suamiku enteng.
Aku tahu ia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Sebagaimana biasanya, ia adalah laki-laki tampan nan narsis yang paling pandai membuatku keki sekaligus rindu setengah mati.
Para pengarang yang sibuk meributkan raksasa itu, selama mereka tak mengambil tindakan nyata—menuliskan kegeraman mereka secara beradab di media massa, misalnya—adalah para jangkrik. Gerutuan mereka terdengar nyaring di kejauhan, namun mendadak senyap bila didekati.
Aku tertawa. Ah, kau memang pandai membuat kiasan, pujiku lalu tertawa lagi.
Itu bukan kiasanku, jawabnya—masih enteng. Aku pernah mendengarnya dari siapa gitu atau membacanya di mana gitu.
Ah, lagi, kau bertambah tampan dengan kata-katamu itu. Kau memang benar, pikirku, seorang pengkarya, selain mahir berkarya, juga harus jujur pada diri sendiri karena itu adalah bagian dari proses yang akan mengayakannya.
Hei, kenapa kau melamun!
Aku sedikit tergeragap.
Sama seperti saat tertidur, melamun membuatmu makin manis.
Ah, kau …
Benar!
O ya?
Jangan berlagak pilon! Kau menyentil ujung daguku. Jangan-jangan kau sudah menyadari kalau di mataku kau tampak menggairahkan ketika tidur, makanya kau tadi sengaja melamun.
Ah, kau ngawur! Aku menjauh. Bagaimana kau bisa menyamakan tidur dan melamun.
Sama-sama mematung.
Tapi tidak sama-sama terpejam.
Itu tidak esensial, istriku.
Esensial? Sok sekali diksimu.
Banyak orang yang terbuka matanya, tapi abai pada kebenaran. Sebaliknya, ada yang buta matanya, namun mampu menepikan yang batil.
Ah, kau sok tahu! Aku mulai kesal.
Perempuan memang pintar bersandiwara, godanya.
Tapi laki-laki paling suka menipudaya!
Hei, apa maksudmu? Memangnya aku mendapatkanmu dengan guna-guna?
Kau menipudayaku dengan cerpen-cerpenmu, suamiku.
O ya?
Kupikir kau benar-benar romantis seperti karanganmu, ternyata …
Ternyata apa?
Ternyata lebih dariku …. Aku bermaksud berlari karena tahu dia akan mengejarku.
Oooo.
O, ternyata kau tak mengejarku. Ah, sial!
Aku bertanggungjawab dengan tulisanku. Sebisa mungkin begitu.
Kan memang harusnya begitu?
Banyak pengarang tidak mengimani hakikat mengarang yang sebenarnya.
Ah, kau mau berkhutbah ya?
Pada istriku sendiri, masak harus dilarang pula. Dia tersenyum menggoda.
Ada pengarang yang pandai sekali mencipta puisi. Kata-kata dalam puisinya begitu indah, memesona, dan membuat banyak orang terkagum-kagum.
Penyairnya laki-laki?
Katakanlah begitu. Walaupun perempuan paling pintar menggoda—bahkan ketika mereka tak bermaksud menggoda sekalipun, namun ketika bersyair, perempuan seperti patah taji. Penyair perempuan kalah seksi dibanding penyair laki-laki!
Oh, kau ingin bilang tentang mahasiswi yang dihamili penyair itu.
Itu yang paling jelas. Yang paling awam adalah, bagaimana, pengarang yang bergumul dengan estetika bahasa, apalagi atas nama sastra, justru ketika telah berada pada jenjang prestasi dan ketenaran tertentu, dengan entengnya menghina karya pengarang lain, bahkan membanding-bandingkan dengan karyanya—yang tentu saja menurutnya lebih bagus!
Apa hubungannya dengan tanggungjawab.
Mereka tidak paham dengan konsekuensi gelar pengarang yang diembannya. Lebih-lebih, ketika mereka melabeli diri mereka sebagai sastrawan.
Aku hanya manggut-manggut.
Makanya, saban aku mengagumi karya seorang pengarang, aku selalu berdoa agar aku tak mengenalnya walau aku selalu berusaha mencari tahu tentangnya; berdoa agar aku tak mendapat nomor ponselnya, PIN BB-nya, akun FB atau Twitter-nya, walau aku lagi-lagi selalu berusaha melacaknya ….
Ohhh …
Ya! Jawabnya tegas. Begitu aku mengetahui tabiatnya yang tak berkesuaian dengan apa yang ditulisnya, aku sedih.
Sedih?
Ya, karena itu artinya aku kehilangan seorang pengarang favorit!
Oh, kau tak seharusnya mengait-ngaitkan orang dengan karyanya!
Ah, kau klise nian, istriku!
Ya, aku tahu.
Cukuplah para koruptor itu saja yang pandai memakai topeng, jangan para sastrawan.
Mereka dituntut untuk menyelami dunia rekaan mereka dengan saksama, kan?
Ya, sebagaimana sadar akan mempertanggungjawabkan semua yang mereka lakukan di sana kelak.
Karya dan pengarangnya.
Sastra dan sastrawannya.
Jadi?
Jadi apalagi, istriku?
Bagaimana tindakan kita terhadap mereka yang gemar memakai topeng itu?
Abaikan saja!
Sebagaimana pada rakasasa paling berpengaruh itu?
Dia tertawa keras sekali.
Seperti tertular, aku pun melakukan hal yang sama.
Makin kita membincangkannya, makin kita membesarkan Sang Raksasa.
Bukankah katamu kita harus menuliskannya—di media? Tidakkah itu cara paling bombastis untuk mengangkat Sang Raksasa?
Inilah yang sering disalahartikan.
Kamu yang plin-plan!
Dengar! Dia menatap mataku, tajam, namun tidak membelalak. Kita olah kegeraman kita dalam atau menjadi karya yang beradab dan elegan tanpa membawa Sang Raksasa, cukup hal-hal yang ‘berbau’ kegelisahan kita terhadap dirinya.
Bagaimana caranya?
Pengarang yang baik takkan menanyakan hal itu.
Aku terdiam. Aku memang pengarang pemula.
Kita jangan menjadi jangkrik! ujarmu setelah lima menit sunyi menguasai kami. Agar tak menjadi jangkrik, kita harus mengolah kegeraman kita menjadi karya, bukan sampah yang menyembur ke mana-mana. Kau tahu, bila raksasa itu adalah setan, maka setan begitu suka pada kotoran, pada yang tak beraturan, keberserakan dalam jumlah besar.
Ada lagi?
Ya, kau tahu kalau raksasa itu punya banyak penasihat?
Bukan penasihat.
Tapi?
Pengikut.
Aku tertawa.
Pengikut yang tidak loyal.
Eh, kau mengikuti perkembangan tentang pengakuan beberapa pengikutnya, ya?
Aku mengangguk cepat.
Begitulah kalau uang sudah bicara.
Raksasa itu memang banyak uang.
Bila uang sudah bicara, semua perkara akan kehilangan kekuatannya.
Kau mulai lagi berkias-kias. Kita sedang ngobrol, bukan menulis cerpen.
Ya, bila uang sudah bicara, pengikut mudah diraih, sebagaimana pengikut itu akan mudah melepaskan diri.
Jadi, bagaimana seharusnya?
Ya, mengarang saja.
Ah, saranmu aman sekali.
Untuk apa menyuarakan kebencian, Sayang.
Bukan kebencian, melainkan kegelisahan. Kegelisahan atas kebohongan dan kekeliruan.
Awalnya aku juga berpikir begitu.
Dan sekarang?
Tidak lagi.
Mengapa?
Mereka, yang menyuarakan kegelisahan—entah atas nama apa pun itu, tidak pernah menyuarakannya atas nama kejujuran atau kebenaran yang netral.
Oh, bahasamu mulai berat.
Kau yang memancingku.
Baiklah. Lanjutkanlah.
Mereka berkoar-koar, karena orang-orang yang mereka tentang adalah orang-orang yang merugikan mereka. Coba kalau yang keliru itu adalah teman mereka, apa yang terjadi? Mereka bungkam saja!
Kau punya contoh?
Ah, banyak.
Aku ingin contoh. Satu saja!
Ada seorang pengarang yang masih single mendapatkan penghargaan bergengsi internasional. Kau tahu apa katanya? Juri penghargaan itu keren sekali! Dia juga berkicau dengan sangat garang tentang skandal dalam dunia sastra. Dia tampil sebagai seorang idealis dengan keberanian yang menggetarkan.
Trus?
Juri penghargaan internasional yang ia gadang-gadangkan itu sekarang menjadi pengikut raksasa paling berpengaruh itu.
Nah, apakah pengarang itu menjadi garang sekali sebagaimana sebelumnya.
Dia tertawa.
Aku pun ikut tertawa pula.
Jadi dia, kalau meminjam istilahmu, mati taji, begitu?
Kami tertawa lagi.
Mulutmu harimaumu ya!
Mulutmu juga buayamu!
Ada lagi?
Kenapa? Kau bosan dengan percakapan ini?
Bukan. Aku ngantuk.
Baiklah. Mari kita tidur.
Tunggu!
Ya?
Sebagaimana biasanya, ucapkan kata-kata romantis untukku.
Bagaimana kalau aku menukarnya dengan kata-kata bijak yang entah aku curi dari mana.
Baiklah. Apa itu?
Kita berhak punya banyak orang yang dikagumi, termasuk di dunia sastra, di mana kita berdua sangat menyukainya, dan selalu berusaha menuliskannya dengan baik—walau kita selalu merasa tak mampu. Tapi karena kau istriku, aku boleh berkhutbah, ya?
Aku mengangguk sembari menyimpul senyum.
Pengarang yang kita kagumi, sebaiknya, adalah mereka yang tidak hanya pandai mengarang dan menguasai luar-dalam ilmu tentangnya, tapi juga yang tidak suka mencaci, menghina, dan merendahkan martabat orang lain, martabat pengarang lain.
Aku setuju, tapi ….
Tapi apa?
Terhadap raksasa yang tidak tahu diri itu, aku pikir khutbahmu tidak berlaku!
Kau mematikan lampu.
Malam makin kelam. Dingin. Dan lenguh pun tumbuh sebelum kami pergi ke alam lain dalam tidurnya. Ya tidurnya. Aku tidak sepenuhnya tidur.
Kutulis semua percakapan kami. Aku tertarik, sebagaimana petuahnya, untuk menjadikannya karya. Aku tak ingin menjadi jangkrik atas percakapan itu. Bismillah. Malam itu juga aku mengirimkan hasil percakapan itu ke sebuah media massa. Aku tak yakin dengan kemampuan mengarangku, namun aku sangat berharap karanganku ini menjadi kejutan indah untuknya. (*)
BENNY ARNAS lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua novelnya yang akan terbit: Bulan Madu Matahari dan Ethile! Ethile!. Saat ini ia mengampu kelas menulis di kanal Youtube-nya.