Mister Hemingway
Oleh A.S. Laksana
Satu botol sudah kosong dan satu yang lain hampir.
“Kau sudah minum terlalu banyak,” kataku.
“Semalam aku merokok empat puluh tiga batang,” katanya. “Sekarang kupikir aku hanya perlu sedikit keberuntungan.”
Robi mengeluarkan buku catatannya. Buku tulis tipis. Ia menulis cerita di buku itu dengan tulisan tangan. Aku ingin memintanya meninggalkan saja buku itu dan aku akan membacanya sendiri nanti menjelang tidur. Tetapi kulihat dahinya pucat dan urat-uratnya menonjol di dahi itu dan wajahnya memancarkan hasrat kreatif yang lugu. Ditambah rambut kelabu yang tipis awut-awutan, secara keseluruhan ia terlihat seperti baru sembuh dari demam.
“Oke, Mister Hemingway, sudah kusiapkan telinga,” kataku.
Ia tersenyum, tetapi terlihat seperti meringis. Kamar senyap dan lampunya redup dan, setelah satu tarikan napas yang berat, ia memulai pembacaan dengan mengumumkan lebih dulu cita-cita kepengarangannya:
“Aku ingin menawarkan gaya penulisan baru dengan novela ini, sebuah kisah yang dipenuhi mimpi buram dan bayang-bayang dan disampaikan dalam perumpamaan-perumpamaan halus … Sebuah jawaban atas kehidupan yang tak masuk akal.”
“Tentu kau boleh bergaya apa pun, itu urusanmu,” kataku. “Tapi sekarang cukup kaubacakan saja ceritamu.”
“Bangsat!” katanya. “Kau teman yang bangsat, tak berguna sama sekali.”
Ia mulai membaca. Aku mendengarkan sungguh-sungguh dan itu bukan perkara mudah: mendengarkan kisah cinta yang kaku dan membosankan tidak pernah mudah. Cerita berlangsung di Semarang. Seorang tukang ketik jatuh hati kepada penari kelahiran Kendal yang mengontrak rumah di kampung sebelah dan ia terus mondar-mandir di depan jendela perempuan itu. Si penari lalu memutuskan pindah rumah ke Pacitan. Tukang ketik jatuh sakit berkat khayalan-khayalannya sendiri tentang cinta.
Aku meminta ia berhenti membaca. Mau ke kamar kecil, kataku. Kalimat-kalimatnya klise dan menjemukan dan ia mencoba menghalus-haluskan bahasanya seperti tukang kayu memelitur balok. Semuanya serba tidak jelas, si tukang ketik cuma mondar-mandir, si penari kebingungan dan minggat begitu saja. Aku tak tahan mendengarkannya dan di kamar kecil aku berpikir keras untuk menemukan cara minggat juga darinya. (*)
A.S. Laksana pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia telah menulis beberapa buku dan cerpen yang telah diterbitkan di berbagai media. Buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik 2004. Buku kumpulan cerpen lainnya Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, 2013 dan Si Janggut Mengencingi Herucakra, 2015.