Ojo Gelo: Rukun Iman Terakhir
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—DALAM hidup, setiap orang sudah barang tentu pernah melewati fase di mana ia kecewa dan tidak terima dengan keadaan, nasib hidup, tindakan, percintaan dan seterusnya. Tentu butuh waktu yang lama dan tidak instan untuk lepas dari kekalutan kondisi kecewa tersebut. Frustasi hingga lupa daratan, lupa keberadaan Tuhan, dan lupa akan jati dirinya yang esensinya adalah seorang hamba pun acapkali jadi pilihan jalan keluar.
Andai diberi pilihan, di saat kontrak kesepakatan dengan Tuhan di alam kandungan empat bulan boleh direkayasa, setiap orang pasti menghendaki kehidupan yang serba istimewa. Lahir dari seorang yang bernasab mulia, bertahta macam seorang sultan Andara, dan rupa menawan nan aduhai. Namun faktanya, semua itu berbanding terbalik dengan realita yang ada. Ada yang lahir dari nasab mulia, namun tak dibarengi dengan kondisi fisik mumpuni dan keadaan ekonomi yang miris. Ada yang lahir rupawan, bergelimang harta, namun keluarganya jauh dari Tuhan. Intinya, tidak ada manusia yang lahir sempurna di dunia ini. Lantas, kita harus bersikap bagaimana?
Ojo gelo. Demikian yang selalu didawuhkan oleh beliau K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah di sela-sela pelajaran yang beliau ampu di Aliyah kepada saya kisaran tahun 2005-2007-an. Dengan kondisi apa pun, beliau menasihati kepada semua siswa untuk tetap belajar legowo; legowo terhadap hal yang baik atau pun buruk. Karena ketetapan perihal yang dialami setiap insan, semua telah digariskan sesuai porsi masing-masing. Kita hanya berupaya menjalankannya sesuai kemampuan secara sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah. Apalagi cuma coba-coba.
Sejatinya Tuhan tidak begitu peduli dengan kesalahan dan kebaikan kita yang compang-camping dan sering terombang-ambing.
Eko Sam
Ketetapan Tuhan kepada anak Adam memiliki dua kategori, yakni mu’allaq dan mubram. Ada yang bisa diupayakan perubahannya dan ada yang bersifat mutlak. Namun, ketetapan tersebut tidak patut kita ratapi, karena Tuhan telah menitipkan akal dan kesadaran sikap kepada kita untuk memilih. Memilih untuk tenggelam dalam ketidakberdayaan atau memilih untuk segera bangkit menuju benderang.
Saya menyetujui bahwa segala bentuk kebaikan bersumber dari Tuhan dan segala keburukan tercipta merupakan efek kerapuhan manusia dalam melawan hawa nafsu. Tidak mungkin Tuhan menghendaki manusia berbuat kerusakan, penistaan dan perusakan di muka bumi. Jika pun hal itu dewasa ini marak terjadi, sekali lagi, ini disebabkan ketidakseriusan manusia untuk menebar kebaikan hakiki setiap waktu, di mana pun, kapan pun.
Kalau pun kita berhasil melewati masa keterpurukan dalam hidup dan telah bangkit menuju jalan yang benderang, kita tidak diperkenankan untuk jumawa. Kita tidak boleh merasa percaya diri yang berlebih karena telah tekun ibadah, banyak sedekah, banyak zikir khafi (berzikir dalam hati tanpa suara) dan beranggapan bahwa dengan amal ibadah tersebut pasti akan membuahkan hasil dan mengantarkan kita dekat dengan Tuhan.
Bahkan, dalam satu riwayat di Mawaizh Ushfuriyah, Khalifah Umar r.a. diampuni oleh Allah akan dosa-dosanya bukan lantaran sifat dermawan, adil dan zuhudnya, melainkan sebab kasih sayang manusiawi beliau terhadap seekor burung kecil yang beliau beli kemudian diterbangkan ke udara dari tangan jahil seorang bocah.
Jadi, apa pun yang pernah terjadi, baik atau pun buruk, biarlah terjadi. Jangan diratapi. Jangan kecewa. Jangan menyesal. Kita tak perlu larut dalam gundah dengan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Kita juga tak perlu bangga dengan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan dan bergantung keselamatan darinya. Karena, sejatinya Tuhan tidak begitu peduli dengan kesalahan dan kebaikan kita yang compang-camping dan sering terombang-ambing. Yang Beliau pedulikan dari kita hanyalah perjuangan sungguh-sungguh untuk mendekatiNya, mengakrabiNya, tanpa embel-embel dimasukkan surga atau dijauhkan dari siksa neraka. (*)
Eko Sam, founder becik.id. Sabda Malaikat merupakan buku cerpen pertamanya, 2019. Lahir dan tinggal di Grobogan, Jawa Tengah.