Pelabuhan Belinyu dan Sedikit Soal “Memancing” yang Aku Tahu
Oleh Sunlie Thomas Alexander
SEJAK jauh hari masih berupa dermaga kayu yang dikelola oleh seorang juragan lokal untuk kepentingan bongkar-muat, Pelabuhan Belinyu atau yang lebih kami kenal sebagai Tanjung Gudang sudah menjadi tempat yang mengasyikkan bagi mereka yang hobi memancing.
Tempat ini, terutama setelah dibangun jadi dermaga beton untuk pelabuhan penumpang maupun bongkar-muat, bahkan menjadi lokasi favorit muda-mudi untuk nongkrong atau berpacaran, baik pada sore hari maupun di Malam Minggu (juga Malam Rabu!).
“Tidak perlu ke pasar, cukup modal kail dan umpan saja,” seloroh seorang temanku. Dan ia betul. Apabila kita datang ke dermaga ini pada malam hari atau subuh-subuh, niscaya dapat kita temukan para pemancing yang berderet di sepanjang dermaga.
Aku bukan mancing mania, namun aku juga pernah beberapa kali memancing di sini. Dan hasilnya lumayan untuk amatiran.
Jika dibandingkan dengan memancing di atas perahu, atau ke pulau kecil, atau di atas batu karang, memancing di dermaga Tanjung Gudang ini memang memiliki sensasi yang berbeda. Jauh lebih rileks dan nyaman. Kita bisa memancing tanpa harus capek-capek bergelut dengan ombak ataupun mengeluarkan biaya lebih. Ya hanya bermodal pancing (yang bisa kita bikin sendiri dengan bambu dan nilon) dan kail serta umpan udang kecil. Sambil merokok dan ngopi, tentu juga seraya mengobrol santai ngalor-ngidul dengan kawan.
Memancing tentu saja merupakan sebuah seni. Seni mengontrol diri, mengendalikan emosi.
Sunlie Thomas Alexander
Memancing tentu saja merupakan sebuah seni. Seni mengontrol diri, mengendalikan emosi. Ia mengajarkan kepada kita laku ketenangan, kepiawaian membaca arus dan kedalaman, juga mengukur waktu dan ketepatan (dalam hal melempar dan menarik kail). Dan di sinilah letak kenikmatannya yang esensial itu.
Tanpa ketenangan, kita bakal kesulitan memperoleh pancingan. Betul, kita bisa saja memainkan kail untuk menarik perhatian ikan agar memakan umpan. Tetapi itu juga mesti dilakoni dengan penuh perhitungan. Sedikit-banyak misalnya, kita haruslah mengetahui karakter ikan di sekitar juga perubahan arus air. Arus dan karakteristik ikan ini cukuplah penting untuk dipahami tatkala umpan kita mulai dimakan oleh mangsa.
Kita tidak bisa menarik pancing serta merta dengan kaget atau dengan perasaan tegang, apalagi panik. Bisa-bisa ikan di ujung kail itu lolos lagi.
Kita mesti tahu betul kapan saat yang tepat untuk menyentak kail, dengan memperhitungkan besar-kecil ikan dan kuatnya arus yang mana memang sangat mempengaruhi tenaga tarikan. Untuk ini, posisi tubuh (mungkin bisa disebut semacam kuda-kuda) harus pula dipertimbangkan jika kita tak ingin kecemplung ke laut cuma gara-gara kalah adu tenaga dengan ikan sasaran.
Ya seni memancing pada dasarnya adalah seni memahami kondisi-situasi. Jika tidak, alih-alih berhasil memancing, justru kitalah yang “terpancing” oleh ikan.
Memancing itu—seperti kata mendiang ayahku—kadangkala cukup dengan satu sentakan kecil saja, Kawan!
Tetapi sayang amat disayang, dermaga Tanjung Gudang kini tak bisa lagi menjadi surga kecil bagi para pemancing di kota kecilku. Sejak dua tahun silam, pelabuhan ini sudah ditutup dan dijaga ketat oleh pihak Pelindo II.
Tidak ada yang boleh masuk selain yang berkepentingan.
“Padahal cukup dengan modal kail dan umpan saja, tak perlu lagi kita ke pasar,” kata kawan akrabku dengan wajah yang nampak agak kesal bercampur sedih tiga bulan yang lalu ketika aku pulang kampung. Ia salah satu pemancing yang cukup militan di sisi dermaga. (*)

Sunlie Thomas Alexander, menulis, cerpen, puisi, dan esai. Bukunya yang telah terbit Malam Buta Yin (2009), Istri Muda Dewa Dapur (2012), Sisik Ular Tangga (2014) dan Makam Seekor Kuda (2018). Buku terbarunya Dari Belinyu Ke Jalan Lain Rumbuk Randu (2020) merupakan pemenang sayembara kritik sastra DKJ 2019.