Pengetahuan Bumbu
Oleh Setyaningsih
BECIK.ID—Pengetahuan dasar tentang bumbu itu barangkali tidak lagi terlalu sakral karena ikut disederhanakan oleh Isyana Sarasvati dari layar iklan salah satu produk penyedap rasa. Isyana memamerkan menu sejuta umat atau sup ayam sembari tersenyum. Publik penonton iklan sudah sangat paham, bukan tangan Isyana yang mumpuni meracik bumbu demi mahakarya santapan. Rasa lezat itu temuan modern atas penyedap rasa yang konon diracik dari bahan terpilih dan kaldu ayam atau sapi asli. Isyana seorang penyanyi berstatus istri, bukan chef atau juru masak dan belum ibu apalagi nenek. Sah saja jika Isyana memerankan figur perempuan (modern) yang mencari kelezatan dari kepraktisan.
Penyedap rasa diniatkan sebagai pelengkap saja, tapi fungsinya sering lebih digdaya dari bumbu utama atau dasar yang didampingi. Demi hal sederhana membuat bumbu tempe saja, daripada ribet memikirkan berapa siung bawang putih, takaran pas garam serta tumbar, dan belum lagi upaya keras menggerusnya, lebih baik larutkan sebungkus royco, masako, atau bumbu racik instan untuk lauk serba goreng. Di majalah perempuan sejak masa 70-an, televisi, dan kini media sosial, iklan bumbu penyedap terus populer dan semakin banyak jenisnya.
Dilatari semakin terbukanya perempuan di ranah publik, ranah domestik untuk urusan memasak terbantu industri bumbu-bumbuan. Meski anehnya, tokoh iklan sering ditampilkan sebagai ibu rumah tangga rumahan, bukan ibu rumah tangga berkarir. Godaan instan melezatkan tidak selalu hadir untuk mengakali kesibukan luar rumah. Iklan juga mengandalkan tokoh anak-anak yang harus dibahagiakan oleh masakan ibu. Secara tersirat, dalam sebungkus penyedap rasa atau bumbu racik instan tersimpan rahasia senyum—kasih ibu, kebahagiaan keluarga, meja makan yang hangat, dan rumah yang kenyang. Krisis kepercayaan diri perempuan tidak bisa memasak juga jadi pijakan produk lekas diterima dan masuk dalam riwayat bumbu-bumbuan keluarga.
Mencari Kemantapan
Namun, ada momentum saat kemantapan sering lebih menggoda daripada kecepatan. Kita cerap saja bagian dari novel Laut Bercerita (2017) garapan Leila S. Chudori ini. “Hanya” urusan memasak mi instan saja bisa menjadi begitu menggiurkan. Tokoh Laut tidak cukup mantap dengan bumbu mi instan yang meski kuat tapi terlalu nyegrak. Mi instan harus dibuatkan kaldu dari kulit ayam dan sambal yang—masyaallah—membuat lidah dan perut bergejolak.
Begini, “Tentu saja sulit menolak makanan penuh dosa ini. Mas Laut mengeluarkan ulekan ibu dari lemari bawah, menggerus dua buah cabai besar, satu cabai keriting, lima cabai rawit, dua suing bawang putih, dan tiga suing bawang merah, sedikit terasi bakar, garam, dan dua tetas minyak jelantah. Dengan semangat dia menguleknya di bawah tatapan Alex dan aku yang penuh liur karena sambal itu adalah kunci segalanya. Mi instan sudah masak. Kami segera saja menikmati kuah mi kuah dengan kaldu ayam buatan Mas Laut yang kemudian dicampur kornet dan dikupyur dengan bawang goreng dan sambal rawit … oh segera saja membakar lidah.” Kemantapan mencari rasa dari dari proses memilih, mengupas, meracik, dan mengulek. Pekerjaan-pekerjaan hanya bisa dilakukan oleh tangan dan cobek ibu. Pekerjaan yang tentu tidak masuk dalam mekanisme industri penyedap rasa atau bumbu instan.
Bumbu menempati wilayah kultural, emosional, religius bagi banyak orang, termasuk para juru masak terkenal yang ditempa pendidikan kuliner modern. Bumbu selalu menokohkan leluhur, sesepuh, moyang, orang lokal, nenek, dan ibu. Bumbu menjelma warisan yang bertahan dan diturunkan, menghidupi perut, perasaan, ingatan dari generasi ke generasi. Salah satunya pengakuan dalam buku Dapur Nostalgia (2016) oleh Redaksi Kokiku yang tidak hanya memuat resep, tapi juga cerita pengakuan dari para juru masak dan ahli di bidang kuliner. Judulnya saja sudah kentara membawa perayaan dan pengingatan tidak instan. Cerap pengakuan dari Yuda Bustara yang pernah bekerja di beberapa restoran di Australia.
Dalam kebosanan menjalani profesi, Yuda justru menemukan energi dari tradisi dan lokalitas Bali. Pengetahuan dan pengalaman berbumbu justru diperoleh dari peristiwa dan sosok yang tidak masuk dalam peta pengajaran kuliner modern. “Beruntung penjaga vila saya saat itu pandai memasak kuliner asli Bali. Ia pun mengajari saya soal bumbu dasar Bali yang disebut bumbu base. Ia mengatakan, “Kalau sudah bisa membuat bumbu ini, kau bisa memasak yang lainnya.” […] Hal sederhana seperti naik sepeda ke pasar dan berbelanja bumbu lokal adalah pengalaman mahal yang tak bisa saya dapatkan di Jakarta.”
Di tengah semarak produk bumbu racik dan penyedap rasa industri, kita bisa merasa tertantang menghadapi buku Upaboga di Indonesia, Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep (2003) garapan gastronom Suryatini N. Ganie, hal terpenting bukan resep yang cenderung fungsional, tapi pengetahuan identitas aneka pangan-rempah-bumbu, sebaran geografis, diksi perdapuran, istilah tradisi bersantap. Dilengkapi foto menarik, garapan ensiklopedis ini menguji pengetahuan identitas dan visualitas setiap elemen upaboga. Rempah dan bumbu, seperti cikur, kecombrang, gandaria, limau, lengkuas, jintan, kapulaga, mungkin terdengar akrab tapi tidak tidak pernah tersadari begitu melebur dalam sebuah masakan.
Jika kita menyimak profil rumah makan legendaris atau ingatan kuliner lokal, sering ada pernyataan “bumbu rahasia”, “resep turun temurun”, “sejak (tahun)”, “bumbu kunci” yang merujuk pada penemuan, proses, tangan sakti dari sosok legendaris, warisan. Penemuan bumbu awal adalah bagian dari kekayaan identitas yang harus dipertahankan. Tempat dan penggarap rumah makan bisa berubah, rasa tetap.
Bumbu-bumbu membentuk kebudayaan bersantap, riwayat sebaran pangan, akulturasi, dan ikatan sosial-kultural. Saat ini, ritual tradisi, perayaan komunal, sekaligus industri kuliner lokal-Nusantara masih menentukan bumbu tidak instan terawat, yang juga berarti merawat kebudayaan manusia atas identitas pangannya. (*)
SETYANINGSIH, esais dan penulis Kitab Cerita (2019) dan Penekun Pustaka Anak. Ia tinggal Pandeyan, Ngemplak, Boyolali.