Pluralisme yang Berpasangan dengan Toleransi
Oleh Prof. Faruk Tripoli
BECIK.ID—KETIKA orang sadar bahwa setiap masyarakat dan kebudayaan mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri sehingga kebudayaan yang satu tidak bisa dinilai dengan kebudayaan yang lain, persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana nilai dan tata pergaulan yang bisa mempertemukan aneka budaya dan kebenaran itu.
Salah satu jawaban yang sekarang populer dan mungkin sudah hegemonik adalah pluralisme yang berpasangan dengan toleransi. Karena nilai dan tatanan itu mengimplikasikan keniscayaan akan kesadaran serta pengalaman mengenai dunia yang beraneka, ia membutuhkan subjek-subjek baru yang dinamakan manusia-manusia kosmopolit, subjektivitas yang mengglobal dan lentur.
Namun, jawaban ini masih menyisakan masalah, yaitu sebagian besar umat manusia di dunia ini adalah manusia-manusia yang terpenjara dalam lokalitasnya, yang terkondisi untuk tidak bisa melakukan mobilisasi seperti manusia-manusia kosmopolit itu.
Kosmopolitanisme mengimplikasikan sebuah pra-syarat yang menjadi basis materialnya, yaitu kesetaraan akses ekonomi, spasial, dan pengetahuan yang juga mengglobal.
Saya baru saja selesai membaca sebuah novel yang berjudul Aib dan Nasib. Di salah satu bagian dari novel itu digambarkan kisah suami-istri yang akhirnya harus berpisah secara tragis sebagai akibat salah paham. Begitu si suami bisa akses ke internet (tentu saja dengan hape yang dibeli dari uang kiriman sang istri yang sedang berada di luar negeri sebagai TKW) ia menemukan foto istrinya yang saling menempelkan pipi dengan seorang lelaki.
Ia langsung menuduh istrinya sudah berkhianat dan mengucapkan kata-kata kasar khas masyarakat kelas bawah, pedesaan pesisir. Sang istri sakit hati karena ternyata lelaki itu adalah anak majikannya yang baik hati.
Sang suami segera menghabiskan uang kiriman sang istri yang sedianya disiapkan untuk membayar uang muka tanah dengan minum minuman keras, melacur, dan akhirnya kecopetan dompetnya oleh si pelacur yang dicurigai sebagai ternyata banci.
Sang suami akhirnya meninggal dan sang istri, karena sakit hati, menetapkan untuk tidak kembali ke kampungnya lagi.
Amin Muzakkir, dalam statusnya, menyebut hal ini sebagai konteks yang harus dipertimbangkan ketika kita mau menjatuhkan penilaian mengenai intoleransi. Salah satu konteks itu tentu saja adalah konteks struktural dalam lingkup lokal, nasional, maupun global. (*)
Prof. Faruk Tripoli, adalah pakar di bidang ilmu budaya serta guru besar Universitas Gadjah Mada. Ia merupakan pengajar Fakultas Ilmu Budaya yang secara resmi mendapatkan persetujuan dari Mendiknas sebagai professor pada 1 Juni 2008.
Judul di atas pemberian redaksi becik.id