Pseudo-Pendidikan Era Epidemi
Oleh Moh. Rofqil Bazikh
BECIK.ID—Sejak pertengahan tahun lalu tugas yang diberikan kepada lembaga pendidikan semakin memberat. Tuntutan keadaan benar-benar merekonstruksi segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Konsep pendidikan memasuki era baru, meski tidak betul-betul baru. Sebab, di beberapa titik sudah dilangsungkan praksis pendidikan ala epidemi. Bahkan jauh-jauh sebelum pandemi menyerang sejatinya sudah ada yang menerapkan hal demikian. Meski, praksis itu tidak sepenuhnya serta hanya sedikit orang yang mengetahui itu.
Semua orang masih sangat tergantung pada model pendidikan yang sudah eksis sebagai praksis selama beberapa puluh tahun. Sehingga ketika awal memasuki era epidemi, kecamasan mulai muncul.
Skeptisisme tidak hanya menimpa tenaga pendidik, tetapi atensi juga muncul dari segenap orang yang menjadi objek. Mulai dari siswa-mahasiswa sampai kepada orang tua yang berada di belakang mereka. Sementara untuk keluar dari model lama tidak akan pernah mudah, hal demikian jelas merekonstruksi sekaligus membangun pola anyar.
Kesulitan dalam membangun konsep pendidikan dan pembelajaran anyar sangat kentara di bagian awal. Masa transisi dari metode yang klasik—meski istilah ini saya rasa kurang cocok—kepada konsep yang lebih ideal masa pandemik. Bagaimana pun, wabah yang menyerang seluruh lapisan bumi dengan sangat radikal berusaha mengubah susunan masyarakat.
Konsep dalam ranah pendidikan beserta seluruh lembaga di dalamnya juga menjadi yang terdampak. Itulah perubahan yang, barangkali, dianggap sebuah keniscayaan—ketika dorongan eksternal sangat menentukan dalam bangunan sebuah konsep.
Memasuki fase pertengahan, sudah mulai banyak orang yang menganggap hal tersebut ideal. Jauh dari kesan menakutkan dan kurang efektif sebagaimana di awal. Sehingga pendidikan dan pembelajaran yang memasuki fase pertengahan ini sudah mulai bisa diterima pelan-pelan. Hal demikian, patut sejujurnya untuk mendapat apresiasi penuh. Mengisyaratkan bahwa konsep anyar yang merekonsktruksi konsep klasik dapat menjadi sarana ideal. Meski, ia tetap bukan satu-satunya konsep yang paling ideal, sama sekali.
Hal itu juga didorong oleh kecenderungan para peserta didik yang masih berkelindan erat dengan gawai. Dalam ranah ini, gawai memang menjadi—kalau tidak sebagai penunjang bisa juga—momok yang menakutkan.
Keberhasilan dalam pendidikan dan pelajaran bisa ditemukan dengan dan bagaimana gawai tersebut dipekerjakan. Di sini kemudian, banyak kejanggalan-kejanggalan yang harus dikoreksi bersama, utamanya orang-orang yang berhak atas konsep pendidikan. Kejanggalan-kejanggalan tersebut yang justru mendelegetimasi konsep belajar daring yang sebelumnya dianggap ideal. Kecenderungan pada gawai ini yang bisa menjadi penghalang idealitas.
Beberapa bulan terakhir, kalau tidak mau dianggap fase akhir pendidikan ala epidemi, mulai mendapat atensi yang berbeda. Kebosanan yang menggerogoti para peserta didik mulai diekspresikan dengan hal-hal yang tidak patut. Sesuatu yang cenderung dianggap negatif sedikit banyak bersumber dari kebosanan tersebut. Itu pula yang menegaskan sekaligus menegasikan konsep ideal ala pandemik. Tidak boleh tidak, memang konsep yang digadang sebagai ideal justru menjerumuskan peserta didik pada lubang semu.
Tidak hanya peserta didik, para tenaga pendidik sepertinya juga dalam fase yang sama sulit dan membosankan. Berlama-lama di depan layar memang tidak ideal sama sekali. Ditambah, dengan perlakuan peserta didik semakin ke belakang yang semakin jauh dari yang diharapkan. Peserta didik kehilangan momentum, kehilangan keaktifan dalam kelas, sebab alasan kebosanan juga.
Bagaimana pun, dalam hal ini pendidikan sebelum pandemi (tatap muka) masih bisa dianggap belum tersaingi. Era digital pun hanya menjanjikan kemajuan semu bagi para penggunanya, mayoritas justru terjerumus, termasuk peserta didik.
Kegagalan menyerang tenaga pendidik, ketika mereka hanya sekadar memberikan bacaan. Sama sekali tidak ada rangsangan bagi peserta didik untuk mencapai pendidikan yang sejak awal dicita-citakan.
Mereka—peserta didik—hanya mendapat rekomendasi buku-buku tetapi tidak pernah dirangsang dengan hal-hal yang menjurus kepada penanaman kreativitas. Pendidikan yang demikian hampir memasuki fase nonsens yang pada akhirnya juga dipandang sebagai pendidikan yang trivial.
Trivial dalam arti, ia tidak bisa memberikan apa-apa selain hanya sebuah konsep-konsep usang. Pendidikan makin masuk dalam ceruk semu, ketika masa pembelajaran era epidemi semakin diperpanjang sampai batas waktu yang tidak ditentukam. (*)
MOH. ROFQIL BAZIKH, tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Duta Masyarakat, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, Alkalam.id, Kopyah.id dll.