Puisi, Ular Beracun yang Mematikan
Oleh A.S. Laksana
BECIK.ID—DI Afganistan, puisi dan ranjau darat sama-sama mematikan. Seorang perempuan bisa terancam mati karena menulis puisi. “Saya tidak bisa membicarakan puisi di depan saudara-saudara lelaki saya,” kata seorang gadis yang menyebut dirinya Meena Muska. Puisi cinta, di Afganistan, akan dipandang oleh mereka sebagai bukti adanya hubungan terlarang, dan Meena bisa dipukuli atau dibunuh karenanya.
Gadis itu anggota Mirman Baheer, sebuah kelompok sastra perempuan yang berpusat di Kabul dan anggotanya tersebar luas di pelbagai provinsi di Afganistan. Di ibukota, para anggota kelompok itu lebih aman berpuisi, namun tidak demikian dengan para anggotanya di pelosok-pelosok. Berpuisi bagi perempuan-perempuan desa adalah sebuah pertarungan hidup mati dan mereka harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Itulah yang dilakukan oleh Meena Muska, gadis yang dipaksa ayahnya keluar dari sekolah setelah teman sekelasnya diculik orang-orang bersenjata. Seperti kebanyakan anggota lainnya yang berasal dari pelosok, Meena akan menelepon seorang perempuan bernama Ogai Amail, pengurus Mirman Baheer, kapan pun ia punya kesempatan. Ia akan menyelinap keluar rumah, tanpa mantel, menuju telepon umum dan membacakan puisi-puisinya dengan suara yang gemetar oleh hawa dingin dan rasa cemas. Amail, yang tinggal di lingkungan sunyi sebuah universitas di Kabul, akan mencatatnya baris demi baris.
Meena Muska adalah nama pena yang digunakan oleh si gadis demi merahasiakan puisinya dari keluarga (Meena berarti “cinta” dalam bahasa Pashto; Muska berarti “senyum”.) Ia kehilangan tunangannya pada 2011, ketika sebuah ranjau darat meledak. Menurut tradisi Pashtun, ia harus menikah dengan salah satu saudara lelaki tunangannya. Meena tidak menginginkan hal itu. Ia tidak berani menolak secara langsung, tetapi menyuarakan perlawanannya dengan membacakan puisi ke Amail. “Saya seperti tulip di gurun. Saya mati sebelum mengembang dan hempasan angin dingin gurun menggugurkan tangkai saya,” katanya. Ia tidak tahu pasti berapa umurnya, mungkin 17. “Karena saya perempuan, tidak seorang pun tahu hari lahir saya,” katanya.
Meena tinggal Gereshk, sebuah kota dengan 50 ribu penduduk di Helmand, provinsi terbesar di Afganistan, penghasil opium terbesar di dunia dan sarang pemberontak. Setelah dipaksa keluar dari sekolah oleh ayahnya, kini Meena tinggal di rumah, memasak, bersih-bersih, dan belajar menulis puisi secara sembunyi-sembunyi. Jika ada kesempatan, ia akan menyelinap ke telepon umum dan membacakan puisi-puisinya kepada Amail. Ia membacakan landai, puisi rakyat Pashtun.
“Kepedihanku tumbuh saat kehidupanku digerus;
aku akan mati dengan sebongkah hati yang penuh harapan.”
Tiga tahun lalu, Rahila, penyair perempuan lain, yang mati karena berpuisi, juga membacakan landai yang serupa kepada Amail. Dan Meena memang menyamakan diri dengan penyair itu. “Aku Rahila baru,” katanya. “Rekam suara saya, maka kalau aku mati kelak kau akan memiliki sesuatu yang kutinggalkan.”
Rahila adalah nama pena yang digunakan oleh penyair muda Zarmina. Ia sedang membacakan puisi-puisi cintanya melalui telepon ketika kakak iparnya memergokinya. “Berapa kekasih yang kaupunya?” desak istri kakaknya itu. Keluarga Zarmina menduga bahwa gadis itu sedang membacakan puisinya kepada seorang lelaki di seberang sana. Kakak-kakanya kemudian memukuli gadis itu dan mencabik-cabik buku catatannya. Dua minggu kemudian Zarmina membakar diri. Sebelum Zarmina, di tahun 2005 seorang penyair perempuan lain, Nadia Anjuman, meninggal karena dianiaya oleh suaminya. Ia berusia 25.
Zarmina tinggal di Gereshk juga seperti Meena. Ia tidak diizinkan keluar rumah. Ia pertama kali mendengar nama kelompok sastra Mirman Baheer dari radio, satu-satunya perangkat yang menghubungkannya dengan dunia luar. Anggota kelompok itu suatu hari membacakan puisi-puisinya di Radio Azadi—Radio Kebebasan. Zarmina mendengarnya dan ingin bergabung dengan kelompok tersebut. Tidak tahu bagaimana cara menghubungi Mirman Baheer, ia menanyakannya pada pembawa acara “Lost Love”, sebuah acara radio yang menghubungkan orang-orang di pengasingan dengan keluarga mereka atau teman-teman yang sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Kepada pembawa acara, Zarmina meminta bantuan untuk menemukan Mirman Baheer. “Oh, jadi kau berpikir kami ini orang hilang juga?” tanya salah seorang penyiar radio yang juga anggota Mirman Baheer kepada gadis itu, sebelum memberikan nomor telepon kelompok sastra tersebut.
Sejak itu, Zarmina rajin menelepon Amail. Ia menyampaikan keinginannya untuk membacakan puisi di tengah pertemuan kelompok sastra itu. Amail berkali-kali mengatakan kepada Zarmina untuk sabar menunggu giliran. “Nanti aku akan meneleponmu,” katanya.
Zarmina tidak sabar menunggu. Jika Amail mengatakan ia sangat sibuk dan sedang tidak mungkin ngobrol, Zarmina akan membalasnya dengan sebuah landai:
“Aku menjerit tetapi kau tidak menjawab—
Suatu hari kau akan mencariku dan aku sudah melenggang dari dunia ini.”
Suaranya mempesona. “Alangkah menyenangkan jika kami bisa merekam suaranya saat ia membacakan puisi,” kata Amail. Namun kelompok itu tidak punya alat perekam hingga sekarang, dan karena itulah Amail mencatat puisi-puisi yang dibacakan kepadanya secara rinci, termasuk tanggal penulisan puisi tersebut dan apa saja yang disampaikan oleh anggota yang meneleponnya.
Zarmina, menurut Amail, sangat impresif tidak saja karena bahasa yang ia gunakan, tetapi juga pada keberaniannya mempertanyakan kehendak Tuhan. “Jika Tuhan menyukai keindahan, kenapa kami tidak dirawat?” tanyanya. “Saya hidup dalam masyarakat yang menganggap cinta adalah kejahatan. Jika kami ini benar-benar muslim, kenapa kami memusuhi cinta?”
Setelah penyiksaan oleh kakak-kakaknya, Zarmina masih menelepon Amail, dan tidak menunjukkan gelagat mengkhawatirkan. Ia membacakan sebuah landai, yang beberapa waktu kemudian disuarakan ulang oleh Meena:
“Ketika Kiamat tiba, aku akan berseru, aku datang dari dunia dengan sebongkah hati penuh harapan.”
Di Afganistan, puisi adalah alat perlawanan bagi kaum perempuan. Mirman Baheer adalah kolompok penyair perempuan kontemporer di Afganistan. Sebelum Mirman Baheer, di masa Taliban, para perempuan membangun jaringan yang dinamai Benang Emas. Itu nama yang diambil dari kegiatan kamuflase para perempuan dalam bersastra. Di Herat, para perempuan berkumpul dan berpura-pura menjahit, tetapi mereka sesungguhnya bersastra.
“Puisi adalah pedang bagi kami,” kata Saheera Sharif, seorang pendiri Mirman Baheer. Ia bukan penyair melainkan anggota parlemen. Pernyataannya itu untuk menegaskan bahwa puisi Pashtun sudah lama menjadi alat perlawanan bagi perempuan Afgan untuk menyampaikan pesan bahwa mereka ditindas atau dikalahkan. Landai dalam bahasa Pashto berarti “ular pendek beracun”. Ia juga merujuk pada bentuk puisi yang hanya dua baris: seekor ular pendek dan sekaligus senjata mematikan.
Saya tidak membayangkan “ular pendek” itu sebagai pedang, tetapi cundrik kecil, yang biasa menjadi senjata para perempuan Jawa zaman dulu. Itu nama senjata yang saya kenal dari cerita-cerita silat yang pernah saya baca. Landai bisa lucu, seksi, kasar, atau tragis, dan ia aman karena anonim. Tidak ada satu orang pun menulis landai; satu perempuan mengulangi landai yang pernah disuarakan oleh perempuan sebelumnya, dan seterusnya. Seperti Meena menyuarakan ulang Zarmina.
Laporan tentang perempuan Afgan dan puisi yang membawa mati ini saya baca di situs http://pulitzercenter.org, ditulis oleh Eliza Griswold, seorang wartawan dan penyair Amerika, dipublikasikan pertama kali tanggal 27 April 2012. Ia menuliskan laporannya penuh empati dan dengan bagus menggambarkan situasi mencekam para penyair perempuan di sebuah negeri yang puisi dan ranjau daratnya sama-sama mematikan.
A.S. Laksana pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia telah menulis beberapa buku dan cerpen yang telah diterbitkan di berbagai media. Buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik 2004. Buku kumpulan cerpen lainnya Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, 2013 dan Si Janggut Mengencingi Herucakra, 2015.