Rumah Masa Kecil Gus Baha’
Oleh Luthfi S. M
BECIK.ID — Rumah mungil berpintu biru itu adalah dalem K.H. Nur Salim, Ayahanda K.H. Ahmad Bahauddin Nur Salim atau biasa dikenal dengan sebutan Gus Baha’. Lokasinya tak seberapa jauh dari Aula Utama LP3iA, pesantren berbasis Qur’an asuhan Gus Baha’.
Rumah berbahan batu kapur sekadarnya itu berada di tepat pada 200-an meter sebelah selatan dari gothakan atau kamar tempat Gus Baha’ singgah. Ya, Gus Baha’ meski telah berkeluarga (memiliki 3 anak dan seorang istri) dan menjadi ulama kondang rujukan para kiai lain itu singgah di sebuah ruangan kecil (kira-kira berukuran 4 x 6 meter) sebagai kamar, dan teras sempit untuk ruang tamu. Tempat singgahnya bergandeng rapat dengan musala pesantren dan asrama tempat santri putri baru bermukim.
Di rumah model lawas itu, selain dulunya dihuni keluarga Yai Nur Salim, kini juga ditempati ratusan santriwati penghafal Al-Qur’an. Tentunya dengan tambahan bangunan lain yang berterusan memanjang di bagian belakang rumah.
Setiap pagi, sekira pukul 07.00, Gus Baha’ bersama keluarga (saudara dan sanak lainnya) mengadakan pertemuan kecil di depan dalem kasepuhan itu. Begitu pula pada sore sekira pukul 16.00. Mungkin untuk sekadar menjaga keakraban keluarga besar, bersilaturrahim, atau bermusyawarah memadukan pendapat dan mencari solusi atas persoalan-persoalan pesantren peninggalan sang Ayahanda.
Selain Gus Baha’, pesantren LP3iA diasuh pula oleh saudara-saudari beliau, juga sang istri. Santri putra sepenuhnya diasuh oleh Gus Baha’. Adapun santri putri yang bermukim di Asrama Baru menjadi asuhan garwa (istri) Gus Baha’, sedangkan yang bermukim di dalem kasepuhan diasuh oleh sang adik dari Gus Baha’; Gus Fuad—nama aslinya Muhammad Firman. Semua kegiatan pesantren dikelola dengan tertib dengan mengandalkan kesadaran para santri, dan pengawasan dari sekalian sanak/keluarga dan segenap masyarakat sekitar pesantren.
Kiai kondang atau bukan, tokoh masyarakat atau bukan, tidak ada bedanya di hadapan Allah.
Di pesantren LP3iA yang berbasis Al-Qur’an dan kajian kitab salaf ini tidak menerapkan aturan tertentu. Jangankan super ketat, sedikit ketat pun tak ditentukan aturannya. Tetapi, para santri di sana sangat ramah dan takzim. Pesantren pun dalam kondisi bersih. Setiap ada tamu yang hadir, akan disambut seorang santri yang mengetahui, untuk kemudian menanyakan keperluan kedatangan tamu tersebut dan mempersilakannya beristirahat di Pos Tamu; sebuah paseban yang disediakan untuk tempat istirahat para tamu sambil menunggu sowan Gus Baha’. Sandal-sandal atau alas kaki para tamu yang (mungkin) berserakan pun rapi seketika, jika sampai ketahuan para santri.
Seperti dalam hal mengaji, di sana tidak ada jadwal pasti pengajian yang harus diikuti semua santri. Semua santri boleh ikut mengaji, dan boleh tidak. Lain dari itu, setiap malam Minggu, Gus Baha’ mengadakan pengajian kitab dengan sistem sorogan di Aula Utama LP3iA, secara rutin. Entah pada pengajian-pengajian yang diampu oleh Kiai Fuad dan ustaz lainnya. Tetapi, menurut sahabat saya yang berdomisili di kawasan LP3iA (rumahnya tepat di depan dalem Kasepuhan Yai Nur Salim), Gus Baha’ itu tidak suka mengganggu aktivitas para santri. Jangankan mengganggu pada urusan pribadi, muncul ke hadapan santri yang sedang senang saat bermain saja ogah. Itulah (mungkin) sebabnya tidak ada aturan tertentu di sana.
Hanya saja, jika suatu waktu Gus Baha’ ingin ngaji, kok kebetulan ada beberapa santri, ya beberapa santri itu langsung diajak ngaji. Tidak perlu menunggu santri lainnya. Adapun para santri lain yang (semisal) mengetahui ada ngaji Gus Baha’, tentulah bergegas menyusul mengikutinya.
Menurut saya, ini salah satu strategi agar para santri tidak mudah meremehkan aktivitas di pesantren. Dengan tidak adanya jadwal dan aturan pasti, para santri akan selalu waspada jika sewaktu-waktu ia meninggalkan pesantren, dan kebetulan Gus Baha’ mengadakan pengajian dadakan, maka sudah bisa dipastikan ia akan rugi.
Gus Baha’ — masih menurut sahabat saya — juga seorang yang sangat mengutamakan hajat masyarakat. Semisal ketika ngaji, kok dilalah ada warga yang memiliki hajat walimahan (entah tahlil, akikah, atau serupa kirim doa lainnya), Gus Baha’ seketika itu menghentikan ngajinya, dan berpindah mengikuti walimahan di kediaman sahibul hajat tersebut. Setelah walimahan selesai, barulah ngaji dilanjutkan.
Begitu pula pada perihal khotbah Jumat; Gus Baha’ kerap kali tidak berkenan mengisi khotbah, meski berkali-kali takmir masjid memintanya (tentu dengan penolakan yang halus dan rasional). Seringnya, Gus Baha’ malah berangkat salat Jumat pada waktu-waktu akhir menjelang khotbah disampaikan. Mungkin untuk menghargai (atau bahasa kasarnya memberi kesempatan berdakwah) para kiai lain, yang seakan-akan Gus Baha’ ingin memberi contoh bahwa kiai kondang atau bukan, tokoh masyarakat atau bukan, tidak ada bedanya di hadapan Allah. Dan Gus Baha’ sangat menjunjung tinggi kesetaraan kawula di masyarakat. Tidak ada yang lebih utama, dan tidak ada yang paling istimewa.
Pengajian lainnya yang diasuh Gus Baha’ di LP3iA (selain malam Minggu itu) adalah digelar secara rutin pada setiap hari Minggu dan Rabu saban dua minggu sekali. Biasanya, pada pertemuan ini LP3iA kedatangan banyak tamu dari luar kota. Seperti Pati, Blora, Semarang, Lamongan, Bojonegoro, Gresik, dan lain-lain, untuk mengikuti ngaji bareng Gus Baha’. Tetapi semenjak masa pandemi ini berlangsung, pertemuan rutin bulanan ini pun belum pernah sekali pun diadakan. Mungkin (ini) juga sebagai ikhtiar seorang ulama dalam pemutusan mata rantai Covid-19, atau kepatuhan terhadap aturan pemerintah yang sah.
Ya. Begitulah Gus Baha’. Tampaknya, jiwa kesederhanaannya memang telah tertanam sejak kecil; sejak dalam pendidikan keluarga dan lingkungan masyarakat menempanya dulu. Selain (tentunya) sebab banyaknya ilmu dan pengalaman, juga refrensi yang dikandungnya dalam sanubari. Maka tak elak jika kehidupan Gus Baha’ (beserta pemikirannya) kini berjalan dengan sederhana, meski telah tersohor ke seantero negeri sebagai orang yang dikagum-kagumi semua kalangan akan keluasan dan kedalaman ilmunya. (*)
(Ditulis untuk sekadar mengingat peristiwa, bila ada hal lain yang tidak sesuai mohon kiranya berkenan berbagi informasi).
Kragan — Gresik, 18 September 2020