Sajak-Sajak Aya Canina: Misalnya Saja Kau Berlari dan Aku Tidak Bisa Mengejarmu
Sintesa Kau dan Aku
Seorang utusan bisa saja datang
ke tengah-tengah kita
menggaruk jarak
yang gatal oleh rindu.
Sebuah ayat bisa saja diturunkan ke bibirmu
untuk kulafazkan dengan semangat yang kudus:
tanpa menyentuhku, kau telah menciumku.
Tiap hari namamu berdentang lima kali.
Bonus tiga: saat gosok gigi,
saat bikin puisi, dan saat lupa diri.
Belum termasuk saat minum kopi
dan saat membaca sajak-sajak Sapardi.
Kau tidak perlu khawatir seorang jagal
mendorong cinta kita ke jurang.
Jagal tidak mendorong. Ia membunuh.
Sementara aku telah mati berkali-kali
disembelih kecupanmu.
Seorang utusan pasti akan datang
membawa sebuah kamus
untuk menyalin bahasa dari matamu
yang merangkum semua puisi
yang pernah kuupayakan.
Peta Buta
Sebelum betul-betul lumpuh,
ia sempatkan duduk
dan bertengkar dengan matanya sendiri.
Apa yang kau lihat?
“Sebuah lingkaran putih dengan macam-macam definisi di tengahnya.”
Jangan takut. Kau cuma sedang memangku sebuah kamus yang bingung.
Dan dengan apa selama ini kau mendaki keyakinanmu?
“Dengan peta yang dibangun di bolamataku.
Ia membiarkanku berjalan sekaligus luput membedakan:
mana barat, mana muslihat.”
Simpul Mati
Seseorang malas mandi karena enggan
menyabuni dosa-dosa insomnia.
Seperti kau, sayangku,
yang luput mencukur bulu ketiak
sebab di situ nasib diapit dengan hangat
tidak lesap diusap deodoran.
Pagi ini bibirmu setangkup roti yang kugigit
biar aku tahu apa yang meleleh dari situ:
margarin, meses, atau ketidakmungkinan.
Selagi kita menanak cemas,
ada yang berjingkat masuk ke dadaku
menyingkap bagian paling sembunyi
dari ini semua: tanda tanya.
Yang hangus setelah kita terus
membakarnya dengan penyangkalan.
Lihat, kita sebetulnya tidak lebih purba
dari usia yang begitu kancil mengelabui
masa muda kita yang pemburu.
Dalam dongeng, kita memang buaya.
Tapi tetap saja, nyatanya kita mudah ditipu.
Arloji ini mati.
Ayo!
Hari ini kita mungkin masih bisa selamat.
Bocah Lelaki
Telah kujumpai seorang bocah lelaki
yang meminta bintang sebagai penunjuk arah.
Bagai Nuh yang agung, ia kumpulkan
keledai-keledai muda yang kesepian.
Ia sendiri kedinginan.
Tapi seorang juru selamat mesti terus
perkasa dan berbahaya
meski harus menunggang duka
meski layang-layangnya putus
dan nyangkut di pohon mangga.
Misalnya Saja Kau Berlari dan Aku Tidak Bisa Mengejarmu
Tahulah kita langit hanya kenal dua cuaca:
awan luruh jadi hujan
matahari luruh jadi cemburu.
Panasnya menyembur-nyembur sampai pintu.
Beruntung. Kita bisa mencuci waktu
memeras percakapan yang basah
menjemurnya sampai tanda tanya itu kering.
Kira-kira dua jam dari sekarang
aku bisa menyetrika keningmu yang kusut
tapi kau pasti tidak sabar
ingin segera melipat sisa silau
di antara dua kurung yang tidak juga
menerangi apa pun.
Besok cuaca kembali normal.
Kau bisa memilih: berlari
atau mengembalikan panas matahari.

AYA CANINA lahir 22 Januari di Bekasi. Buku puisi pertamanya, Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Dapat disapa dengan santai di instagram dan twitter @ayacanina, juga blognya medium.com/@ayacanina.