Sajak-Sajak Edy Firmansyah: Kita Pernah Selonjor di Sini
Kampung Kami Tak Pernah Tua
Tak ada hari tua di sini
setiap uban adalah lahir bayi
segala tempat adalah taman kanak-kanak
membuat kami enggan beranjak
Bisa tak ada damai di sini
sebab kami bisa jadi demam infeksi
bagi mereka yang fasih mengirim gergasi
fasih menyusun artileri
Jangan ajari bagaimana membelah diri
kami berbiak dari diri sendiri
sejak rudal dan pelatuk senapan
gampang meledak dan menagih korban
air mata dan darah adalah pupuk bagi tumbuh kembang kami
sehingga tentara kami tak lagi bisa dihitung dengan angka statistik
/2021
Terminal
Terminal adalah sekolah bagi
pisah dan temu
dan putar gir waktu
menggasing roda nasib
di dalam diri
di setiap pergi
Padamu
aku ingin menjadi jendela
agar diri
bisa menatap apa saja
yang melintas di luar diri
dengan dada lapang
meski rasa sakit perpisahan
tak lagi bisa diobati
kepulangan
/2021
Ibu Ladang
Aku ingin tidur di tubuhmu yang ladang
menyusuri gulma dan derai ilalang
bagai mimpi tualang
menyusuri setiap lekuk peta perjalanan
Tubuhmu, kerak bumi yang mengambang
di lengan hara yang jadi rumah
bagi napas dunia
Beri aku mata bajak, dan sepasang sapi yang jinak
akan kusentuh intimu
sebagai satu-satunya pengabdian
menciptakan rongga bagi rumah akar
basa bagi lambung terbakar
dan aroma tanah dilamur hujan
dalam hikayat
/2021
Suara Timba di Tubuh Kampung
Aku merindukan suara timba
memukul tubuh air di sumur itu
lalu derit kerekan memecah udara gigil
mengangkat diri ke pagi tiba
mengangkat kampung pada nasib yang sibuk
pada cuaca yang terus menggaruk
yang tak bisa diterka
Aku merindukan suara keloneng sapi
dan tajam mata bajak mengerat dunia ini
aroma tanah basah mengusap segala gelisah
bukankah selalu ada yang bisa dirayakan
meski air mata tak usai membuat rajah di pipi
Aku merindukan suara kampungku
tapi yang kurindukan tak selalu merindukanku
saat tambang-tambang dibuka dan pohon-pohon gayam rubuh
kolla susut jadi lubang-lubang hantu
lalu kudengar suara cakar besi gedung-gedung
menggarpu yang tersisa
melenyapkan yang pernah ada
/2021
Kita Pernah Selonjor di Sini
Kita pernah selonjor di sini
di bawah rindang mahoni
lantas kau menangis
saat perlahan senja menipis
“Adakah yang mengerti
mengapa perjumpaan begitu lekas
dan tak pernah abadi?” ujarku
Kausentuhkan telunjukmu di bibirku
“Hanya kenangan” bisikmu
sembari menyentuh ikal rambutku
“Hanya kenangan yang membuat kita
tak pernah saling lerai”
Lantas gelap menangkup hari
malaikat-malaikat mini
bergelantungan di ranting malam Februari
Aku kini selonjor seorang diri
menyaksikan bangkai-bangkai mahoni
bergelimpangan di sisi kali
kurasakan nyeri kanker datang dan pergi
sedang sumur jiwa tak lagi bisa
menampung air mata
/2018-2021
EDY FIRMANSYAH, lahir di Pamekasan, Madura. Buku antologi puisi tunggalnya yang pernah terbit, antara lain: Derap Sepatu Hujan (Indie Book Corner, 2011) dan Ciuman Pertama (Penerbit Gardu, 2012). Sedang menyiapkan antologi puisi tunggal ketiganya.
Beberapa Puisinya juga berserakan dalam antologi bersama, di antaranya: Dian Sastro For President! End of Trilogy(AKY&Insist Book, 2005) Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, 2011), 100 Puisi terpilih Gelombang Maritim (Dewan Kesenian Banten dan SN Book, 2016), MENAPAK KE ARAH SENJA: Sepilihan Puisi Sastra Digital 2011-2014 (Buku Sastra Digital, 2017), Bima Membara (Halaman Moeka Publishing, 2012), Agonia: antologi penyair Jember-Jogya (IBC&Tikungan, 2012), juga tersebar di media cetak dan online seperti: Harian SURYA, JAWA POS, Radar Madura, Radar Surabaya, Surabaya Post, Pojokpim.com, apajake.id, biem.co, dsb. Bisa dihubungi via twitter: @semut_nunggingatau IG: @edy_firmansyah