Sajak-Sajak Novan Leany: Sebatang Lisong Herman Runturambi 1947
Malam Penasaran
Kemarin, ada yang penasaran
oleh foto yang terselip di dompetku
seseorang yang datang tatkala pagi
pergi tanpa ucap selamat tinggal
barangkali malam ini,
kutunggu kau kembali
ada serigala tidur dalam diriku
sedang dengkur burung hantu bersahut seru
Gelap meluap membangunkan rindu yang tidur nyenyak
bintang-bintang menggedor-gedor pintu hati tanpa permisi
“cepat jelaskan seseorang di dalam foto itu,
untuk bercerita harus ada barang bukti!”, katanya riuh dalam senyap
“Seseorang di dalam foto ini pernah merayap
ke sekujur dadaku dan mendebar seluruh yang ada di sana
Seseorang di dalam foto ini pernah mencuri
cahaya bulan yang memantul di lautan dan memindahkan ke mataku
Seseorang di dalam foto ini pernah menggedor pintu
dan meminta bayaran hutang untuk cinta yang semu”, kataku melolong depan purnama
2019/2020
Tawaran Menumpang di Balik Teluk
Hei puan, di balik teluk
bayang-bayang meluber di karang
rembulan malu-malu menampak wajah
dan orang asing masing-masing berpulang riuh
“Aku ingin menumpang di punggungmu!”, katamu
Di antara lumbung garam, mercusuar menyala
seperti kedip mata dalam sebuah keraguan
tak perlu memongah dagu, apa yang ditunggu?
Di punggung ini tidak bisa menyelamatkan diri dari karam
“Di punggung itu, kurekatkan doa-doa dan harapan
untuk merampungkan pelukku yang lepas saat temaram
di punggung itu, kutenggelamkan jangkar dan waktu
untuk merampungkan namamu di dada langit
sebelum kau menawarkan tumpangan
untuk seorang yang lain,” katamu
Punggung ini adalah tempat mendayung
menuju mati di laut malam yang senantiasa
melunturkan doa-doa dan harapan buta
“Tidak! Punggung adalah kendara
menuju rumah paling selamat
dan Tuhan menanti di depan pintu,” katamu
dengan lengan tak gapai memeluk
Halte Samarinda
Tempat kau menunggu jemputan atau sekadar berteduh
beberapa orang menganggapku sebagai angin
atau ruang terbuka menghirup debu-debu trotoar
yang belum dijamah tukang sapu
Usai hujan, lampu-lampu kendaraan lalu lalang
memantul di jalan raya seperti masa lampau yang usang
dan tidak pernah ada yang tahu diriku siapa
Tidak ada yang menanti; tidak ada yang peduli
aku halte yang mati,
berisi koran-koran bekas dan poster kampanye
atau pamflet tentang berita orang hilang yang minta dihubungi
Aku sepertimu, purba di ujung jalan
si peneduh kanak penjual koran
sekadar naungan singgah
yang tak sungguh ingin kau kunjungi
2020
Kematian Qu Yuan
Kucari jenazahmu Qu Yuan
Sepanjang dasawarsa, nyata balas budi
perkataan di bibirmu isyarat mata angin
Tanggal lima bulan ke lima
Tidak ada raja seperti kehilangan musim
Apa kau mencium aroma darahku?
kabarkan Raja Huai, Zinnia ini berbau amis
walau ia tidak percaya
Sungai ini kutabur bacang
karena tubuhmu bukan umpan
umpama purnama merabunkan bayang di banyu
baiknya kau tidak ditemukan lagi
atau Qin Xiang dan ZiLian
akan menendang bokongmu dua kali
Semenjak kau bunuh diri, Wilhelmina gembira
Belanda kibar bendera sampai melindung kampung
dan melanda rasa takut sepanjang malam
aku tak mampu menangkal
dan pantas mencium tangan musuh
Kucari jenazahmu Qu Yuan
aku bidak-bidak yang diperbudak
Jika melawan, mengumpat atau ceburkan diri di Miluo
anak dan istri merengek kelaparan
demi sungai ini, datangkan perahu naga
atau jelaskan cara pingit luka
2020
Sebatang Lisong Herman Runturambi 1947
Tengah malam yang cekam
dan rasa takut menguasai tubuh
napas sesak dan debar di dada
bukan sebab api atau asap
sebatang lisong terakhir di bibir kita
Kampung Pinang bung Herman;
tempat tinggal yang tenang
Suara perut lapar, hentak sepatu,
kokang senapan, atau sebatang lisong
adalah hitungan nyawa
dalam satu malam
Di lidahmu tersembunyi bentangan peta
Petunjuk gerbang kota kita
Maka kalau kau tetap pergi
Semua selesai buat malam ini
Soekiman, Sastromiharjo, Tjorong
dan Kusbi gemetar kakinya seperti jagal
yang khawatir tak sempat mengecup anak
esok pagi, sebelum berangkat bekerja
Bung Herman, lihat malam ini
Serangan peluru penembak buta
hitungan satu babak, puluhan ayah hilang
dan tak sempat selamatkan diri
bagai serigala disergap pemburu
dan kota kita bau amis darah pejuang
Entah apa yang kuwartakan anaknya
Pagi nanti, ayahnya tak pulang
dan sisa sebatang lisong ini
tak menerangkan kata atau
menenangkan sedikit pun
2020

NOVAN LEANY asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Dalam waktu terdekat sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 Psikologi. email: m.novan1997@gmail.com