Angin Tahu
Kita yang membenci rasa sakit. Dari jalan ke jurang. Dari rindu ke malu. Mencoba menenangkan badai. Dari kelopak mata sendiri. Lalu berasyik menghitung belatung dari luka-luka yang tumbuh dari ketidakpahaman. Apakah di otak kita telah penuh oleh pertanyaan yang selalu berseberangan dengan jawaban. Kadang niat baik menjadi busuk di mata orang.
Sudahlah, jalan dan jurang. Luka dan duka, biarlah membatu. Akan ada pengembara yang istirah di sana. Dan kita melanjutkan jalan, menuju tangga masa depan. Biarlah angin menerjang, ia tahu kita makhluk kuat. Ia tahu kita akan selamat.
Dalam Matamu yang Berkisah
Ia seperti dihantui bayang-bayang kekasihnya. Entah apa. Sebuah kisah yang tumbuh dalam derai rambutnya. Dari gerimis mata yang menyentuh tanah. Berkali setiap malam tiba. Ia jatuhkan seribu sesal. Pada kenangan yang tak akan pernah selesai menuntaskan arti pertemuan.
Burung Pelatuk
Pagi kudengar suara burung pelatuk mematuk bambu antena tv. Suaranya gaib. Datang dari kisah lampau. Jambul merahnya menyala berusaha menandingi matahari.
Siang sedikit ia tiba-tiba pergi. Seakan waktu memakannya. Kembali pagi harinya dan pagi-pagi setelah itu. Mematuk lagi. Jika angin sedikit saja marah, robohlah antena itu.
Sebelum Hujan Datang Membanjiri Wajahmu
: Cicil
I
air mata yang membeku itu menjelma serupa gerimis
tuntaskan saja, atau kirim ke mataku biar aku mengeluarkannya
sesedih apa pun, biar membasuh wajah yang kering pagi ini
II
di setiap pertemuan dan pertemanan
akan selalu ada kerikil berserak menggerogoti kaki
meluncur satu retak demi retak
hingga pada akhirnya kita berusaha membodohi air mata
dan kalah oleh perasaan
III
saat rambutmu terberai dan aku beranjak menelusuri dengan menjelma pengembara asing
memasuki ruang paling gelap dalam tubuhmu, aku tersesat
tak bisa keluar hingga suatu waktu aku temukan lubang besar dalam hatimu
aku masuk, namun api yang menyambar dan luka yang menganga beserta bercak darah memaksaku keluar
mencari jalan lain, jalan yang tak pernah bisa dilewati angin
IV
kau patut tak percaya kepada orang gila yang tak pernah berhenti menarik bajumu
hingga kau memberi sisa makanan tadi malam
V
begitulah, sebelum hujan datang membanjiri wajahmu
kuingatkan, selamatkan semua kenangan dan masa depan
siapkan perahu hari ini, agar semua pertemuan berakhir perjamuan
Perempuan yang Bersembunyi di Balik Keypad Hape
Diceritakannya tentang musim kemarau. Tanah-tanah retak dan udara bergerak mengirim panas. Tentang cacimaki yang lebih suka tumbuh di mulut lelaki. Tentang gerimis yang lebih suka jatuh ke pipi. Sedikit lebih sedikit aku mulai paham, tentang apa yang ia sebut kesabaran. Tangannya menggenggam lebih kuat dari batu yang pernah diajari bicara. Siang ini ia bertanya di mana aku bersembunyi. Di dadamu, jawabku. Ia tak percaya. Aku tertawa. Sudahkah kau minum jamu, tanyaku. Tak ada jamu yang lebih mujarab dari rindu, jawabnya. Kali ini aku tersenyum lebih manis dari biasanya. O ya?
THONI MUKARROM I.A., lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Beberapa tulisanya sempat diumumkan media lokal dan nasional (Akbar, Surabaya Post, Jawa Pos, Radar Bojonegoro, Warta Tuban, Sumut Pos, Bali Post, Majalah Sagang, Buletin Jejak, dll.), beberapa antologi; antologi penyair bulan purnama Mojokerto (2010), Sehelai Waktu (2011), Bulan Kebabian (2011), puisi untuk kota padangku tercinta (2011), antologi pelajar Mimpi Kecil (2011), antologi puisi untuk Palestina (2011). Cerpen Your Chemical Romance (Diva Press 2011), Antologi puisi dan cerpen lembaga Bhineka (2012), Kumpulan Cerpen tunggalnya Kisah Seekor Kupu-kupu (Shell-jagat tempurung 2012), dll.