Sajak-Sajak Tjahjono Widarmanto: Tayub, Hikayat Pohon Nur, Rajah di Lekuk Tubuhmu, Petilasan Srigati, Gandrung Dasamuka
Hikayat Pohon Nur
Bermula dari bijimu yang secuil sawi aku belajar mengeja Tuhan
mengenal degup yang berharap lembut tumbuh menyubur
bersama dahan-dahan penampung ranting dan rimbun daun
maka, melangitlah. melangit pohon nur. ranting, dahan, daun cahaya
tempat segala anak mendongak takjub pada kehidupan
dahan-dahan perkasa menyimpan teduh
tempat para burung titipkan cericit pada sulur matahari
menebar benih-benih pesona. takjub tak putus-putus:
di sinilah cahaya itu menjadi lampion
tempat sabda Tuhan disimpan
kelahiran, taksu, pupus dan kewajiban
begitulah para nabi menggantungkan kitab-kitab di dahan itu
menjadi ranum buah-buah bercahaya
abadi tak pernah matang namun selalu segar
seperti senyum para bidadari yang bibirnya lafalkan nur nur nur
pohon itu tubuh terus meninggi melangit
dahan, ranting, daun dan buahnya bercahaya
seperti pesona puisi-puisi yang ditulis para darwis
pohon itu tumbuh meninggi bertabik kepada awan
akarnya menjalar ke pusat semesta
seperti berkah yang meluncur ke langit lantas melesak ke bumi
menyusupkan rumbai-rumbai cahaya ke ceruk paling gelap
demi kun fayakun
pohon itu meninggi
dahan ranting berimbun cahaya
seperti mantra wartakan lambang dan tembang
petanda Tuhan selalu tersenyum di setiap bilangan sepertiga
memandang kita yang pongah menaksir berapa tinggi cahaya
terlampau bebal berharap sanggup menampung daun-daun nur
pohon nur itu kian meninggi
rimbun cahaya tumbuh meruah
bersama masa dan mantra-mantra
Bumi Ketanggi
Rajah di Lekuk Tubuhmu
mungkin tubuhmu adalah rusuk yang hilang itu
tulang yang tak pernah kutahu tersimpan di ceruk mana
yang aku tahu kulitmu begitu asin diminyaki peluh
saat kau rapatkan tubuhmu ke tubuhku
aku membacai rajah di sekujur liang tulangmu
seperti sabda-sabda yang dituliskan di kitab
lekatlah tulangmu rapat ke tubuhku
percakapan-percakapan itu pun sontak dimulai
diawali dari pembacaan rajah-rajah di sekujur liang tulangmu
mulut kita pun jadi cawan terbuka atau belanga yang menganga
hausmu hausku membakar tulang belakang
rapalkan rajah itu maka akan kekallah rahasia itu
sampai sepi meleleh dan hijrah dari tubuh kita
rajah itu harus dibaca berulang-ulang seperti dengung lebah
tulangku tulangmu akan melekat merapat
selanjutnya melepuh dan mendengus serupa peluh
mulut kita menjadi cawan terbuka, belanga yang haus
kecupan-kecupan jadi mantra sembuhkan segala luka
tanda baca-tanda baca itu pun terurai
tak perlu kita bertanya lagi
: siapa nama dan asalmu? aku jantan ataukah engkau betina?
sebab rajah di liang tulangmu tak lagi rahasia moksa
(Ngawi-Gresik)
Petilasan Srigati
di kaki gunung ini kukenang seseorang narendra menanggalkan
mahkota, terompah dan jubah busana kebesarannya
ditancapkan tongkatnya pada sebuah karang
seraya bersabda:
usai sudah!
ditapakinya jalan yang melingkar-lingkar ke puncak
segala onak belukar terbuka alam menyibakkan tirai
kupu-kupu dan ribuan kunang-kunang bersarang di rambut panjangnya
: ayo sunyaruri itu telah rindu…
-Ketangga, Srigati-
Gandrung Dasamuka
Tidak pernahkah engkau menggelepar saat kangen berbiak jadi luka.
saat rindu jeritkan bayang-bayang risau serupa kuntilanak gentanyangan
di pucuk-pucuk bambu yang tiba-tiba layu
Siapa bisa menduga dan melupa cinta?
Cinta barangkali keindahan sekaligus kutukan. Dan, akulah lelaki yang dikutuk itu!
Dasamuka yang tak sanggup mengelak takdir, tak mampu berkelit dari tenung pesona
tak bisa lari dari sihir cinta yang halus, serupa lalat menggelepar dalam jaring
benang laba-laba rentan namun membinasakan
Aku, sungguh tak sanggup sembunyi dari gandrung dan rindu
maka biarkan aku jadi dasamuka perompak wanita
walau kelak segala waktu menistaku.
Tayub
selalu ada yang mengendap sembunyi di kedalaman gerakmu
penyair akan merasa tak lagi punya bahasa
dan harus segera bergegas mengembara lagi
jauh ke dalam tanda-tanda agar dirinya selalu terjaga
membacai semiotika kitab-kitab kuno
lantas menangisi kembali cinta pertama
yang selalu datang sia-sia
gerakmu selalu saja rahasia
seperti rambut hawa membentang peta purba

TJAHJONO WIDARMANTO, penyair, tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019) menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019.