Sejarah Sebuah Tembakan
Cerpen Edy Firmansyah
BECIK.ID—TERDENGAR letusan pistol disusul suara tubuh ambrol. Larawati. Tubuh sawo matang itu terkapar di sisiku. Tangannya mencoba meraih tanganku. Sekuat tenaga kucoba menyongsong tangannya. Tapi syaraf tubuhku mulai enggan mematuhi perintah. Tikaman pisau itu membuatku kehilangan banyak darah. Kusaksikan Larawati melenguh. Dalam samar kulihat sosok tengah memegang pistol. Laki-laki Belanda. Berkumis melintang. Dengan mata menyala bagai anjing neraka.
Dengan sekuat tenaga kutegakkan kepala. Namun sia-sia. Tinggal menunggu waktu saja nyawa ini lepas dari raga. Setiap yang bernyawa pasti mati. Tapi tak ada yang ingin mati setragis ini. Laki-laki itu terus mendekat. Mendadak bayangan masa lalu berlintasan di kepala. Seolah perintah terakhir pengakuan dosa. Apakah aku berdosa?
Masih kuingat malam terakhir itu. Aku memindahkan tangan Geest van Klerk pelan-pelan yang sedari tadi memelukku usai percintaan yang liar. Kemudian aku beringsut dari kasur agar tak membuat suamiku itu terbangun. Kulihat ia sejenak. Geest van Klerk, seorang kepala polisi tengah pulas. Telanjang.
Aku mengenakan piyama, kemudian berjingkat pelan ke meja kerja. Menyalakan lampu dan membacai lagi laporan dr. Deel Hendrick yang kuterima pagi tadi yang dimuat di Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, sebuah jurnal kesehatan terkemuka Hindia Belanda.
Lebih setengah abad silam, tepatnya pada 1873, seorang dokter kelahiran Bergen, Norwegia, bernama Gerhard Armauer Hansen, menemukan adanya Mycobacterium leprae di jaringan semua penderita. Sebuah organisme berbentuk batang yang menular. Penelitian itu dilakukan dengan mikroskop baru dan lebih baik. Sayangnya, klaim Hansen dianggap angin lalu rekan sejawatnya. Padahal menurut Hansen penyakit ini berbahaya. Penderitanya bisa berakhir dengan kematian.
Tak mau patah arang, Hansen kemudian menginfeksi satu pasien wanita tanpa persetujuan medis. Memang tak ada kerusakan akibat tindakannya itu. Si pasien wanita itu punya daya imun yang kuat menangkal bakteri yang masuk dalam tubuhnya. Namun karena tindakannya itu, Hansen harus berurusan dengan pengadilan dan terpaksa kehilangan jabatannya di rumah sakit.
Dan penyakit ini terlanjur menyebar ke seluruh dunia. Dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Adalah India negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti Brasil dan Myanmar. Masuknya wabah ini ke Hindia Belanda mula-mula dibawa melalui aliran besar tahanan tentara Portugis yang dibawa ke Batavia. Pengaruh lainnya karena kedatangan bangsa Cina secara besar-besaran ke Hindia Belanda. Bangsa Cina sudah lama terjangkit penyakit kusta sebelum masuk Hindia Belanda. Dan pada 1939 ini, wabah mencapai puncaknya di Hindia Belanda. Menyebar hingga Madura. Sementara obat sangat terbatas.
Menurut Verslag omtrent de leprabesstrijding, tempatku bekerja sebagai dokter, Madura merupakan wilayah terbanyak kedua setelah Jawa Timur dalam angka penderita Kusta. Ini jelas mengkhawatirkan jika tidak segera ditangani dengan baik. Bisa menyebar ke mana-mana dan semua orang bisa kena. Termasuk orang-orang kulit putih seperti aku.
“Kau masih merisaukan wabah ini, Andriana?” mendadak Klerk memelukku dari belakang. Tanpa mengenakan sehelai benang pun. Berkali-kali ia menciumi tengkukku. Aku menutup laporan itu.
“Kau bangun, Klerk?”
“Aku tak bisa tidur kalau tak memeluk tubuh indahmu, Lieverdku.”
“Jangan merayu, Klerk. Aku sedang bekerja.”
“Wabah itu tak akan menyerang kita, Andriana. Percayalah,” kata Klerk setengah berbisik.
“Maksudmu?”
“Itu kutukan buat para pemalas yang tak mau menjaga kebersihan,” ujar Klerk. Tangannya terus menyusup dalam piyamaku. Menyentuh payudaraku. Aku segera menepisnya.
“Karena kita mengisap tanah ini terlalu banyak, Klerk. Teramat banyak. Menjarah alam yang mereka miliki, tapi membuat penduduknya hanya jadi pekerja rodi. Kemiskinan gampang ditimpa kematian,” aku menyalak. Klerk melepas pelukannya. Menarik kursi dan duduk di sampingku sambil menyalakan cerutu.
“Kita? Maksudmu Nederland?”
“Siapa lagi?”
“Ooo…begitu pelajaran yang kau dapat dari School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) hah? Menjelekkan bangsamu sendiri. Tidakkah kau pahami, Andriana, Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina telah mengeluarkan program trias van Deventer untuk bangsa terbelakang ini? Dan mereka tidak memanfaatkannya dengan baik.”
“Klerk, kebijakan itu kan muncul karena desakan banyak pihak agar Netherlands lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang. Tapi hasilnya? Pendidikan yang mestinya untuk semua, diselewengkan hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Dan Migrasi hanya menghantarkan penduduk tak lebih mirip dari kerja rodi. Apa bedanya? Sekarang wabah Hansen melanda. Dan kau masih juga menyalahkan mereka, warga pribumi yang kita tindas itu karena tidak menjaga kebersihan dan kurang gizi sehingga kekebalan tubuhnya lemah. Kemanusiaanmu diletakkan di mana, Klerk? Kelaminmu?”
Klerk menggebrak meja. Matanya membelalak. “Godverdomme!” Tangannya melayang. Menampar pipiku. Plak!
“O… Hanya segitu ilmu emansipasimu?!”
Klerk beranjak dari kursi. Mengenakan pakaian dan keluar rumah sembari membanting pintu. Ia mengayuh sepeda anginnya. Aku bergegas membuka jendela.
“Ke mana, Klerk? Tidur dengan hoerendopmu? Belum puas, Klerk? Dasar kochelaresse!” Klerk tidak menoleh. Hanya mengacungkan jari tengahnya.
Ada perasaan jijik menjalar. Mestinya aku minta cerai. Aku kehilangan Klerk yang tenang dan romantis sejak judi mengubahnya jadi berwatak bengis. Tapi aku tak paham mengapa masih mau bersetubuh dengannya. Sebuah penghiburan? Gigil menusuk pori-pori. Tampak dua orang opas yang sedang berpatroli melintas. Aku menutup jendela.
DERING telepon membuatku terjaga. Rupanya aku tertidur di meja kerja setelah pertengkaran dengan Klerk. Aku melirik jam dinding. Pukul 09.00 pagi. Aku menggeliat, pada dering ketiga, aku gegas mengangkat telepon.
“Hallo, Andriana van Houten di sini.”
“Kau harus ke kantor sekarang. Jumlah penderita meningkat jadi 300 orang. Atas perintah Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra/Kusta) kita akan membuka 40 titik pengobatan di seluruh regentschap Bangkalan,” ujar dr. Jan Harten di ujung telepon. “Kabar terakhir, karantina sudah diberlakukan. Opas telah memblokir jalan dari dan ke daerah epidemi,” sambung Harsen. Harsen adalah rekan sejawatku. Sebelum terlibat dalam penanganan lepra dia adalah pengajar di Nederlandsch Indische Artsen School, Surabaya. Dulu dia pernah menyatakan cinta padaku. Tapi aku menolaknya. Aku lebih memilih Klerk. Sebuah pilihan yang aku sesali. Sayangnya aku tak bisa memutar waktu kembali.
“Memang seperti itu seharusnya yang dilakukan, Jan,” aku memotong pembicaraan.
“Apakah jika semua ini berakhir, aku bisa mengajakmu jalan-jalan, Andriana?” tanya Jan.
“Kita lihat saja perkembangannya, Jan. Tapi sepertinya kita tak punya banyak waktu bersenang-senang menangani wabah ini,” aku mengelak.
“Baiklah. O, ya, pemerintah sudah mengirimkan lima dokter spesialis kusta dari Surabaya dan beberapa staf pendukung. Juga menambah empat mantri lulusan perawat dan enam pembantu. Meringankan tugasmu yang setiap hari keluyuran ke daerah pandemi sendirian. Juga ada kiriman puluhan kilo chaulmoogra, chaulmograpils, dan resorcin dengan kapal dari surabaya. Kita akan melakukan penyuntikan massal dan pembagian obat hari ini,” tandas dr. Jan Harsen kemudian menutup telepon.
Aku bergegas mandi. Kemudian berganti baju seiring berganti waktu. Menyambar daftar 40 titik pengobatan di Bangkalan yang direncanakan kemarin dan kini telah disetujui Dr. Sitanala sebagai Hoofd Leprabestrijding. Wilayah tersebut meliputi; Blega, Kamal, Aroesbaya, Geger, Kokop, Sotjah, Boeloekagoeng, Kwanjar, Tanah Merah, Tragah, Boerneh, Tanjung boemi, Moedoeng, Labang, Galis dan Konang. Hari ini akan melelahkan. Tapi sudah resiko menjadi dokter. Menyelamatkan semua manusia dari penyakit.
Usai mengunci semua pintu rumah, aku berdiri di pinggir jalan menunggu dokar. Aku tahu Klerk tak akan pulang dalam waktu dekat. Selalu seperti itu setiap kali kami bertengkar. Aku juga tahu Klerk punya gundik di Blega di samping rumah bola. Kabarnya tengah hamil. Sedangkan dari rahimku tak bisa berikan Klerk keturunan. Aku mandul. Sebuah kutukan lain yang kuterima sebagai perempuan.
Tak berapa lama kemudian sebuah dokar berhenti. Aku naik. Tapi belum pula kuhempaskan pantatku ke kursi dokar mendadak kepalaku pening. Kakiku gemetar dan seolah mati rasa. Aku limbung dan terjatuh. Pingsan.
SUDAH setahun aku berjalan dengan tongkat penyangga dan berada di Leprozerieen di Aroesbaya yang didirikan pemerintah Hindia Belanda dari Dana Kesejahteraan Madura. Jan Harsen yang mula-mula membawaku ke sini. Tempat ini merupakan salah satu tempat isolasi dari 400 tempat isolasi yang didirikan untuk penderita kusta di Bangkalan. Sejak diketahui positif mengidap Morbus Hansen, aku diisolasi bersama penderita lainnya. Kakiku juga baru saja diamputasi. Sekaligus menghadapi stigma buruk yang mestinya tak pantas dilakukan makhluk berakal. Dijuluki orang teko. Penderita daging busuk.
Klerk, suamiku, juga tak pernah menengok. Entah takut. Entah jijik. Atau mungkin menikah lagi. Aku tak peduli. Satu-satunya yang setia merawatku hanyalah seorang mantri perawat bernama Ladrak. Pemuda asli Pamekasan yang ditugaskan menjadi mantri di wilayah isolasi tempatku kini tinggal.
“Kau tak takut tertular seperti aku, Ladrak?”
“Apa yang perlu ditakutkan, Nyonya? Bukankah cinta pada kemanusiaan tak kenal rasa takut,” katanya. Dan entah mengapa ada perasaan lain di dadaku melebihi perasaan seorang pasien pada perawatnya.
Belakangan setelah aku dan Ladrak makin intim, baru kutahu ternyata Ladrak seorang perempuan bernama Larawati yang menyamar jadi laki-laki demi bisa bekerja untuk mendapatkan obat buat ibunya yang juga terserang lepra. Maksudku dia memang memiliki liang vagina. Tapi di atasnya ada daging memanjang yang disebut penis. Dua-duanya berfungsi. Tapi semua itu tak mengurangi perasaanku padanya. Bukankah cinta tak kenal rasa takut?
“Karena kelamin ini aku nyaris dibunuh bapakku. Bagi bapakku keberadaanku adalah kutukan. Tapi ibuku melindungiku. Membawaku lari. Membesarkanku,” katanya sambil menunjukkan bekas jahitan di bawah pusarnya. “Bapakku mencapkan pisaunya di sini,” katanya.
Ada ketulusan di balik kata-katanya. Yang dulu dimiliki Klerk dan kini sirna. Kini kata-kata Larawati dan embusan napasnya dan remasan tangannya membuatku kembali menemukan cinta. Aku tak ingin melepasnya. Kami bercinta. Kami bahagia.
“Cinta kita terlarang, Nyonya,” kata Larawati suatu ketika usai kami saling mengerang melepas berahi.
“Tak ada yang terlarang dalam cinta, Wati. Yang perlu kita lakukan hanya berhati-hati,” kataku.
Kami menjalani semuanya sebagai sepasang kekasih. Bercinta. Tersenyum. Aku dipindahkan ke Pamekasan dan Larawati kujadikan pembantuku.
Sedangkan Klerk sendiri telah jadi komandan sebuah operasi yustisi di Jawa. Kubaca berita Geest van Klerk menangkap pejabat tinggi, di sebuah hotel ketika sedang melakukan perbuatan tak senonoh dengan seorang bocah lelaki pribumi. Di kantor polisi, orang tersebut membuka identitasnya: Henri Fievez de Malines van Ginkel, residen Batavia. Pemerintahan kolonial merasa tercoreng mukanya. Henri dikenai pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belanda). Dijatuhi hukuman satu setengah tahun di penjara Sukamiskin.
Setelah peristiwa itu, Klerk ditarik ke Madura dan memimpin penangkapan besar-besaran atas kaum homoseksual dan biseksual di Pamekasan. Gubernur Jenderal A.W.L Tjarda Van Starkenborg Stachouwer mendukung langkah tersebut. Sebab homoseksual dan biseksual dianggap “anasir jahat dari masyarakat”. Perburuan, penangkapan, dan penyiksaan sering berakhir kematian di jalanan.
Banyak orang yang masuk daftar hitam mengungsi. Aku dan Larawati terlambat. Satuan polisi moral itu akhirnya mendobrak rumah, menyeretku dan Larawati ke ruang tamu. Lima orang. Mereka memaksa kami berjongkok dengan kedua tangan menyangga belakang kepala.
“Mengaku tidak, kalian lesbian? Jawab!”
Kami diam. Tak ada gunanya menjawab pertanyaan.
“Dasar setan!” Mendadak sebuah bogem mendarat di mulut Larawati. Aku melompat hendak menyelamatkan kekasihku dari siksaaan para durjana itu. Namun belum sampai tanganku menyentuh lelaki itu seorang lelaki lain menubrukku. Kudengar bunyi sobekan daging. Kulihat perutku menganga. Kudengar Larawati menangis iba.
Mendadak terdengar letusan pistol disusul sebuah tubuh ambrol. Larawati. Tubuh sawo matang itu ambruk persis di sisiku. Tangannya mencoba meraih tanganku. Tapi kami sepasang kekasih yang telah kehilangan daya hidup. Ke manakah Larawati nanti setelah mati? Ke neraka karena mencintai sesama jenis atau ke surga karena masih punya cinta? Sebentar lagi aku akan bertemu lagi dengannya dan akan segera tahu ke mana kami menuju saat memasuki kehidupan abadi itu. Geest van Klerk berdiri di depanku. Menodongkan pistolnya ke kepalaku.
Terdengar letusan pistol. Geest van Klerk terkapar. Anak buahnya berlarian. Dalam mata yang mulai redup karena kehilangan banyak darah kulihat bayangan orang menenteng senapan. Melangkah kian dekat. Moncong senapannya masih mengeluarkan asap; dr. Jan Harsen. (*)
EDY FIRMANSYAH, penulis kelahiran Pamekasan, Madura. Pemimpin umum Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan. Kumpulan cerpennya yang pernah terbit adalah Selaput Dara Lastri (IBC, Oktober 2010). Buku puisinya yang telah terbit adalah Ciuman Pertama (Gardu, 2012) dan Derap Sepatu Hujan (IBC, 2011). Pernah menjadi jurnalis Jawa Pos. Pernah diundang dalam acara Temu Sastraawan Indonesia (TSI) IV di Ternate, 2011 silam. Artikel, Cerpen dan puisinya tersebar di banyak media cetak maupun online, di antaranya; KOMPAS, JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SUARA KARYA, PELITA, HARIAN SEPUTAR INDONESIA, KORAN JAKARTA, SURYA, RADAR SURABAYA, SURABAYA POST, BALI POST, BANJARMASIN POST, DETIK.com, KOMPAS.com, CENDANANEWS.com, POJOKPIM.com, STORY MAGAZINE, Majalah SURAMADU, dan Majalah ANNIDA. Bisa dihubungi via twitter: @semut_nungging