Selamat Jalan Begawan Sastra Yogya: Iman Budhi Santosa
Oleh Eko Sam
BECIK.ID—KABAR duka menyelimuti langit Yogya. Kamis, 10/12/20 telah pulang ke Hadirat Allah Swt. begawan sastra Yogya, Iman Budhi Santosa, salah satu pendiri Persada Studi Klub (PSK) dan sahabat karib Umbu Landu Paranggi.
Almarhum akan dikebumikan hari ini pukul 13.00 di makam Seniman Girisapto Imogiri Bantul. Sastrawan kelahiran Magetan 72 tahun ini tutup usia dengan meninggalkan buku baru Seni Mencipta Puisi yang belum sempat dilaunching.
Dari sekian banyak berita lelayu yang bertebaran di linimasa akun Facebook almarhum, ada salah satu kisah sahabat dan murid almarhum, Komang Ira Puspitaningsih, yang menarik perhatian saya. Karena perihal yang dibahas mirip dengan diskusi saya kepada beliau bertahun silam. Berikut isinya…
Innalillahi, innalillahi, innalillahi…
Bapak, aku masih berhutang banyak, tapi njenengan sudah kondur. Tak akan lupa penjelasanmu tentang falsafah hidup orang Jawa dengan menjabarkan titik-titik imajiner dari Keraton sampai Tugu. Tak akan lupa ucapanmu ketika tangan kiriku terkilir dan aku kesulitan di kamar mandi.
“Saat kita tidak bisa cawik, saat itulah kita baru menyadari betapa pentingnya tangan kiri di kehidupan kita,” katamu sambil tertawa.
Yang paling kuingat, celetukanmu yang cukup tiba-tiba, “Komang, kalau di Bali, yang ditangisi itu orang yang baru lahir atau orang yang baru meninggal.”
Kujawab, “Orang yang baru lahir, Pak. Karena dia turun ke dunia untuk menjalani hukuman.”
“Kalau orang mati?”
“Ya, gak boleh ditangisi, karena tugasnya di bumi sudah selesai.”
“Nah, betul. Berarti masih sama, Jawa Bali itu sama,” ucapmu dengan mata berbinar-binar.
Tapi nyatanya aku nangis sendiri di kamar mandi, Pak. Ternyata aku secengeng itu. Terima kasih atas banyak sekali nasihat dan petuah. Maafkan kemalasanku dan kebebalanku selama ini.

Kalau kisah kematian panjenengan dengan saya macam ini, Mas Iman. Saat itu, seketika panjenengan bertanya, usai berkisah tentang falsafah garis lurus antara Merapi, Tugu dan Keraton.
“Apa yang akan kau lakukan saat Subuh dikabari jika Ibumu meninggal dan hendak dikebumikan pukul tujuh pagi. Sedang rumahmu Magetan dan kamu tinggal di Jogja… Dan waktu tidak terkejar?”
Saya diam sejenak sembari merenung seraya melirik sulutan rokok kretek panjenengan dan susunan buku yang tertata rapi di rak buku. Kemudian saya menjawab, “Saya langsung pulang, Mas.”
“Tidak. Aku tidak pulang. Aku tetap di Jogja sembari nangis, termenung dan berdoa. Di hari berikutnya aku baru nyekar Ibu.”
Ah, Mas Iman, karya-karya, petuah dan contoh laku berkehidupan sederhanamu telah abadi di mataku. Doa terbaik untukmu. Al Fatihah…