Serpihan-Serpihan Daging yang Diterbangkan Burung-Burung ke Langit
Cerpen Adam Gottar Parra
“SSSTT…!”
Rio, berandal cilik yang drop out dari bangku SD itu menempelkan telunjuknya ke mulut, meminta kawan-kawannya diam, dan menyuruh mereka berjalan mengendap-endap di belakang Budiman. Sementara anak muda berpakaian compang-camping itu berpura-pura tidak tahu, dan membiarkan bocah-bocah itu menguntitnya dari belakang.
Di saku celana mereka telah tersedia batu-batu dan buah nyamplung muda yang dipungut di ujung jembatan. Mereka membuntuti langkah Budiman dari jarak puluhan meter di belakang. Ke mana pun Budiman melangkah di dalam gang sempit rumah petak itu, terus diikuti oleh mereka. Manakala Budiman membungkuk permisi pada ayam atau kucing yang dijumpainya di dalam gang, bocah-bocah itu pun akan bersorak girang, lalu menimpuki tubuh Budiman dengan batu dan buah nyamplung.
“Horee… Diman gila! Diman gila!” sorak-sorai bocah-bocah itu sambil bertepuk tangan.
Manakala Budiman menoleh ke belakang dengan bibir berdarah akibat terkena lemparan batu, bocah-bocah itu pun akan berlari terbirit-birit ke dalam gang, lalu bersembunyi di balik pintu atau kolong ranjang, untuk menghindari Hajjah Wardah yang datang seraya ngomel-ngomel sambil menenteng gagang sapu.
“Mimin, Betty…, kasih tahu anak-anak kalian, mereka tambah kurang ajar!” teriak Hajjah Wardah sambil mencak-mencak.
“Ya, Ummi…, disunat saja mereka, biar kapok!” jawab Betty yang tengah menjemur cucian.
Brragg…! Hajjah Wardah menyepak daun pintu. Dipo yang meringkuk ketakutan seperti keong di belakang pintu tampak pucat-pasi. Hampir tak berani napas. Kendati rasa takutnya akan segera menguap setelah Hajjah Wardah pergi.
“Sunat saja mereka, Ummi…,” kata Mimin sambil berpura-pura ikut mencari Dipo.
Hampir semua warga Kompleks Perumnas sudah tahu, bahwa Budiman suka permisi pada binatang yang dijumpainya di jalan. Tetapi, status ibunya sebagai Ustazah membuat mereka sungkan untuk ngerumpi tentang Budiman. Meskipun ada saja tetangga yang sesekali suka nyeletuk iseng, “Ibunya Ustazah, anaknya gila.” Tetapi, itu tak banyak. Karena pada umumnya mereka sangat hormat pada guru ngaji mereka yang sudah tiga kali naik haji itu.
Selain hormat pada binatang, Budiman juga akan hormat pada batu, pohon, tembok, pesawat terbang, sepeda motor, odong-odong, lemari, bangku, tong sampah, termasuk patung kuda di alun-alun. Waktu melihat Budiman permisi pada patung kuda, orang-orang yang sedang berakhir pekan di alun-alun tak mampu menahan tawa.
“Kok permisi pada patung, Mas?” tanya seorang baby sitter.
“Ya, kudanya lagi sedih,” jawab Budiman.
“Ahh, Mas ini ada-ada saja, masa patung bisa sedih?” timpal yang lain, disambut gelak-tawa.
Rasa cintanya terhadap sesama makhluk itu tidak hanya terhadap binatang bertubuh tambun seperti gajah dan kerbau, tapi juga kepada yang kecil-kecil seperti kodok, cacing, semut, dan lain-lain.
Sebagai ungkapan welas asihnya kepada makhluk kecil ini, suatu ketika Budiman pernah menangisi seekor kecoa yang menggelepar-gelepar karena kakinya buntung.
Akibat cintanya yang begitu mendalam kepada sesama makhluk itu, Budiman menjadi sangat sensitif dan selalu berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya.
Sikap hati-hatinya itu tampak juga dalam memilih makanan. Sudah lama Budiman tidak mengonsumsi makhluk berdarah seperti daging, telur dan ikan. Ia juga tidak akan mengonsumsi buah-buahan yang dibeli di pasar. Karena menurut bekas mahasiswa filsafat itu, semua jenis buah-buahan yang dijual di pasar, dipetik secara “paksa” dari pohon. Padahal saat buah diputus dari tangkainya, pohon akan merasa kesakitan dan mengeluarkan getah.
“Getah itu adalah darah pohon.” katanya, berfilsafat, saat ditanya alasannya sehingga ia menolak mengonsumsi buah yang dibeli di pasar.
“Berbeda dengan buah yang jatuh sendiri dari pohon, saat buahnya sudah matang, pohon tidak akan merasa kesakitan, karena tidak ada unsur-unsur pemaksaan dan kekerasan di dalamnya, semua berjalan secara alamiah sesuai kodrat dan iradat Tuhan,” katanya, berkhotbah panjang-lebar, pada orang-orang yang sedang menunggu bis di halte.
Oleh karenanya, Budiman hanya mau mengonsumsi buah-buahan yang langsung jatuh dari pohon. Jika tidak menemukan buah jatuh, Budiman akan memungut remah-remah bunganya yang gugur di tanah. Jika tidak ada yang bisa dimakan, ia akan berpuasa. Karena jarang makan itulah, maka tubuhnya menjadi kurus-kering.
Perubahan perilaku Budiman itu, tentu saja membuat kedua orang tuanya stres, karena memikirkan masa depannya. Ayahnya berencana menitipkan Budiman ke Rumah Sakit Jiwa. Tapi sebelum langkah itu diambil, ia membawa Budiman berkonsultasi ke psikiater. Tetapi, rekomendasi guru besar ilmu jiwa itu sungguh mengejutkan.
“Budiman genius. Semua perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Argumentasinya kokoh,” tulis psikiater itu pada secarik kertas.
“Sungguh berdosa saya kalau saya rekomendasikan dia masuk ke RSJ,” kata Prof. Gapilun, setelah berdiskusi panjang-lebar dengan Budiman disaksikan oleh Haji Anwar, ayah Budiman.
“Kalau saya punya anak gadis, mau saya jadikan dia menantu…,” kata Prof. Gapilun, bercanda sambil menjabat tangan Haji Anwar saat hendak pulang.
Jika rasa cinta dan hormatnya kepada sesama makhluk membuatnya membungkuk permisi, maka pada setiap ingat Tuhan Budiman akan langsung bersujud. Di mana pun ia berada, tak peduli tengah pasar, jalan raya, terminal, atau lapangan bola, kalau ingat Tuhan, Budiman akan langsung bersujud di tanah.
SIANG itu Budiman sedang menyeberang jalan di prapatan, depan Balaikota, ketika tiba-tiba dia ingat Tuhan, yang kemudian membuatnya langsung bersujud di tengah jalan. Iring-iringan mobil pemadam kebakaran yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi ke arah ruko yang terbakar, seketika melindas tubuhnya yang sedang bersujud di tengah jalan. Dilindas mobil pemadam kebakaran yang tangkinya penuh berisi air, tubuh Budiman langsung penyet dan menempel dengan badan jalan. Darah dan otaknya tercecer di aspal.
Peristiwa kecelakaan di depan Balaikota itu segera mengundang perhatian warga. Orang-orang berhamburan keluar dari kantor-kantor dan pertokoan. Arus lalu-lintas macet total. Orang-orang turun dari kendaraan untuk melihat tubuh korban yang menempel seperti koran basah di badan jalan. Mereka merubungi jasad korban yang hancur berkeping-keping.
Mereka mencoba mengenali jasad korban berpakaian compang-camping itu, dan mencocokkannya dengan seseorang yang pernah mereka lihat, tapi entah di mana? Tapi badannya yang telungkup dengan wajah hancur membuat orang-orang kesulitan mengenalinya. Apalagi di kota tua yang memiliki banyak sekali gelandangan dan pengemis ini, orang-orang berpakaian compang-camping seperti Budiman banyak sekali, sehingga tidak mudah mengingatnya. Kecuali satu dua orang yang pernah melihat Budiman membersihkan sampah ranting pinus di halaman Gereja St. Lucia yang sebagian dindingnya hangus terbakar, atau ketika Budiman menyapu lantai Masjid Ibnu Majah di belakang Balaikota.
Orang-orang yang jumlahnya makin banyak itu masih bertanya-tanya tentang identitas korban, ketika titik-titik bayangan hitam terlihat bergerak-gerak di aspal. Sepintas titik-titik hitam itu mirip bayangan daun-daun gugur. Semula mereka tidak begitu menyadari, karena perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada korban. Tetapi, ketika titik-titik hitam itu makin membesar dan mulai tampak sebagai bayangan burung-burung terbang, mereka pun seketika mendongak ke langit, dan betapa terkejutnya mereka, karena ternyata yang mereka lihat adalah burung-burung terbang, yang jumlahnya sangat banyak.
“Burung..!”
“Burung-burung!”
“Ya, banyak sekali!”
Semua orang tengadah ke atas, menyaksikan kawanan burung-burung yang jumlahnya sangat banyak, dan seolah memayungi jasad Budiman dari terik matahari, yang saat itu tepat berada di atas prapatan Balaikota.
“Ck ck ck…!”
“Burung apa ya, besar-besar sekali.”
“Indah sekali bulunya, keemasan….”
“Burung surga mungkin….”
Macam-macam komentar takjub yang terlontar dari mulut mereka yang kini memenuhi prapatan. Mereka juga menghidu bau wangi seperti kesturi.
Kawanan burung-burung itu terbang makin merendah di atas atap gedung, mendekati menara Balaikota. Saat beberapa ekor burung mulai mendekati kabel listrik di atas trotoar, orang-orang seketika bergerak mundur, melebarkan lingkaran, untuk memberi jalan pada burung-burung itu. Lingkaran tambah diperlebar manakala kawanan burung-burung itu mulai mendekati badan jalan, lalu hinggap satu per satu di sekeliling jasad Budiman. Karena tak tertampung di dalam lingkaran yang dipagari manusia, puluhan ekor lainnya hinggap di tembok gapura dan patung kuda.
Beberapa ekor burung yang paling besar menelengkan kepala, mengamati jasad korban. Lalu, seolah ada yang menggerakkan, secara serentak paruh dan cakar burung-burung itu mencengkeram jasad Budiman dari ujung kepala sampai kaki, termasuk kedua tangannya yang hampir putus. Beberapa ekor lainnya memegang ujung celana dan bajunya yang koyak bersimbah darah. Sekujur tubuh Budiman kini sudah benar-benar berada dalam penguasaan burung-burung itu. Burung-burung itu pun bersiap-siap terbang. Dua polisi—yang sudah bersiap dengan ambulans—pun melongo.
Seekor burung yang paling besar yang berdiri di atas kepala Budiman, tiba-tiba bersuara melengking seperti terompet, seolah memberi aba-aba kepada rekannya. Burung-burung itu pun bergerak serentak mengangkat jasad Budiman, lantas terbang….
Orang-orang histeris! Bahkan ada yang jatuh pingsan, karena takjub.
Rombongan burung itu terus terbang, mengangkat jasad Budiman dari badan jalan, melewati pepohonan, tiang listrik, meninggalkan atap-atap rumah dan gedung-gedung, semakin tinggi, dan semakin tinggi di atas gedung-gedung pencakar langit, mendekati serpihan-serpihan awan kapas, hingga timbul-tenggelam di balik awan. (*)
ADAM GOTTAR PARRA, lahir di Praya, 12 September 1967. Cerita pendeknya terbit di sejumlah media cetak/online, di antaranya: Harian Jawa Pos, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Bali Post, Lampung Post, Minggu Pagi, Riau Pos, Detik.Com, Tabloid Nova, Majalah Basis, Sabana, Kartini, Sagang, dll, juga dalam beberapa buku kumpulan cerpen bersama, terakhir buku Melabuh Kesumat (Cerpen Pilihan Riau Pos, 2013). Penulis berdomisili di Mataram, Lombok, NTB.