Tulisan, Tangan, Waktu
Oleh Bandung Mawardi
kami sudah memberimu salam pisah, pergilah
buatmu bulan tak akan terbit lagi dan hari berhenti
tak guna aku mengutuk atau memudja
tak akan begitu banjak berguna
(Sapardi Djoko Damono, “Almarhum”, 5 Januari 1959)
Di majalah Konfrontasi edisi Mei-Juni 1959, pembaca disuguhi puisi berjudul “Tangan Waktu” gubahan Sapardi Djoko Damono. Puisi gubahan remaja tinggal di Solo. Ia menulis: selalu terulur ia lewat djendela/ jang pandjang dan menakutkan/ selagi engkau bekerdja, atau mimpipun/ tanpa berkata suatu apa. Kita tak pernah mengetahui “Tangan Waktu” itu tercatat sebagai puisi di babak awal atau bukti kemahiran bermain kata, setelah menulis puluhan puisi.
Puisi dalam edisi cetak dengan huruf-huruf tampil rapi. Sebiji puisi di halaman Konfrontasi masih memiliki ruang kosong untuk jeda atau hening. Puisi itu mungkin dikirim dalam rupa ketikan di kertas, bukan tulisan tangan. Dulu, majalah-majalah menerima kiriman tulisan-tulisan dari para pengarang menginginkan sudah berwujud ketikan.
Sapardi Djoko Damono dalam biografi kepengarangan berjudul “Permainan Makna” menjelaskan puisi itu digubah saat umur belasan tahun. Ia mengenang: “Ada yang tak masuk akal dalam sajak tersebut, yang berasal dari kedalaman masa kecil saya; tangan waktu yang panjang dan menakutkan yang tak pernah berkata apa pun sementara ia terulur lewat jendela. Tangan waktu yang mengarah kepada saya dan memegang leher baju saya. Tangan waktu yang bergerak dalam dunia nyata yang tak masuk akal, ternyata tetap terulur dalam dunia rekaan yang saya ciptakan.”
Puisi adalah tulisan tangan, ibadah raga dalam keluwesan, letih, gemetar, dan tegang.
Bandung Mawardi
Sapardi Djoko Damono lupa bercerita puisi itu ditulis di kertas atau buku, menggunakan pensil atau pulpen. Ia pun mungkin mengetik secara rapi untuk dimasukkan ke amplop: dikirim ke alamat redaksi majalah di Jakarta.
Kita menduga puisi “Tangan Waktu” mula-mula tulisan tangan, sebelum dicetak di halaman Konfrontasi. Paras Sapardi Djoko Damono tampak kalem dan tenang. Ia terduga menulis rapi di buku-buku tulis atau kertas bersih. Pilihan menggerakkan jari dengan menulis puisi menghasilkan jenis-jenis huruf memikat mata, sulit berulang secara sama. Posisi raga menentukan kemolekan huruf. Tinta pun memberi rangsangan-rangsang tak biasa untuk melihat huruf-huruf itu bercengkerama. Puisi ditulis di kertas, sebelum dicetak dengan huruf-huruf sama tersaji rapi di majalah.
Di Konfrontasi, Sapardi Djoko Damono memberi pula puisi berjudul “Sisa Usia.” Remaja tekun berurusan waktu. Kita membaca: malam itu ibu tua itu menangis pandjang sekali/ dan membunga lagu-duka dari hidup jang sendiri/ anaknja jang tunggal meninggal di tangan kemerdekaan/ dan suaminja sudah lama terhisak-hisak menghadap tuhan// rumah tua dengan lumut dan ilalang pandjang/ genangan tahun-tahun jang lemah di sana usia bertualang/ bersandar sepi kamar menjulut lampu sabar/ djauh memandang hati jang tinggal menjusur tepi-tepi.
Kita berimajinasi puisi ditulis Sapardi Djoko Damono saat malam. Hening. Ia menulis di sebuah rumah di pinggiran Solo saat listrik belum merata dan rumah-rumah belum tentu memiliki terang lampu. Tangan bergerak dan sejenak bergetar menuliskan “kematian”. Huruf-huruf di buku tulis mengisahkan duka ibu. Malam, ia menggubah puisi dengan percik pengharapan bakal mengirim ke majalah-majalah terbit di Jakarta. Pada suatu hari, ia membaca puisi dengan paras huruf-huruf berbeda dari buku tulis.
Buku itu besar dan memikat. Buku disusun Indah Tjahjawulan dijuduli Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017. Buku memberi kelegaan bagi pembaca ingin mengetahui tata cara menulis puisi dan rupa-rupa tulisan tangan Sapardi Djoko Damono di sekian buku tulis. Buku-buku dari masa lalu, mengiringi biografi sebagai pujangga. Buku-buku masih tersimpan, diperlihatkan ke publik. Buku-buku bertahun 1958-1970.
Indah Tjahjawulan mengakui: “… melihat manuskrip tulisan tangan asli dari puisi Sapardi Djoko Damono membuat saya bergidik. Membayangkan Sapardi Djoko Damono muda di tahun 1950-an mencurahkan ekspresinya lewat goresan pulpen. Tampang kalem dan tenang tak seperti dugaan kita. Tulisan-tulisan ada di buku-buku tulis khas masa 1950-an. “Walaupun bagus, entah kenapa, tulisan tangan Sapardi Djoko Damono agak sulit dibaca,” pendapat Indah Tjahjawulan untuk menghaluskan dari sebutan “jelek”.
Para pembaca bisa membuktikan dan membandingkan di buku berisi pindaian halaman-halaman di buku tulis memuat puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Buku itu mengesankan “biografis” dan “pribadi” meski berharga mahal. Konon, buku paling mahal ketimbang puluhan buku Sapardi Djoko Damono sudah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.
Buku tulis tertua bertahun 1958. Puisi mengenai waktu gubahan Sapardi Djoko Damono dimuat di Konfrontasi bertahun 1959. Penantian tak lama dari babak tulisan tangan ke edisi cetak di majalah. Kita memang sengaja bergerak jauh ke belakang: mengenang Sapardi Djoko Damono sudah pamitan, 20 Juli 2020. Kita sudah jemu bila mengenang dengan puisi-puisi “itu-itu saja” atau buku-buku “itu-itu saja”. Kita memilih majalah lama dan buku memuat pindaian tulisan-tulisan tangan masih terselamatkan.

Penjelasan Sapardi Djoko Damono: “Saya mulai tertarik menulis sajak pada umur 17 tahun, ketika masih menjadi murid SMA di Solo. Teknologi pada hakikatnya cara kita melakukan sesuatu, dan teknologi yang ada waktu itu adalah pena dan buku tulis, atau buku sekrip; berbeda dengan pujangga klasik Jawa yang menulis di lontar atau bahkan batu.” Dengan benda-benda itu Sapardi Djoko Damono menunaikan janji menjadi pujangga. Remaja itu tanpa sadar sedang membuat sejarah besar dalam kesusastraan Indonesia.
Ia mengalami tahun-tahun menulis di buku. Puisi adalah tulisan tangan, ibadah raga dalam keluwesan, letih, gemetar, dan tegang. Peristiwa menulis tanpa berisik dibandikan suara mesin tik. Hening mungkin lebih termiliki tapi ketergesaan tetap berlaku dengan bukti ada kata-kata dicoret atau diorek-orek dianggap salah. Suasana batin lebih terasa dan terbaca di tulisan tangan. Tulisan-tulisan Sapardi Djoko Damono sulit terbaca mungkin gara-gara ia bergairah atau menganggap menulis puisi seperti “pementasan” tanpa kaidah-kaidah teknis secara ketat dan baku.
“Saya pun mulai menulis puisi di buku sekrip, dan setiap kali ada keinginan mengirim ke majalah saya pergi ke kantor bapak sehabis jam kantor untuk mengetiknya,” ingatan Sapardi Djoko Damono. Perkara menulis itu memiliki gejolak: “Di dalam buku sekrip saya bisa langsung mencoret, memperbaiki, dan mengganti yang sudah tertulis – proses yang meskipun bisa, tidak mudah dilakukan dengan mesin tik. Sebelumnya, mengetik pun mengakibatkan perubahan dalam penulisan: manuskrip umumnya berubah ketika sudah ditulis, antara lain sebab situasinya berubah – di samping munculnya ruang yang berbeda.”
Di manuskrip, kita menemukan tulisan tangan untuk puisi berjudul “Tangan Waktu”. Puisi digubah pada 15 Maret 1959. Di kertas bergaris, tulisan tampak rapi. Miring. Kita memang susah membaca. Pada masa remaja, ia sudah beribadah puisi dengan tulisan-tulisan tangan, masih tersimpan sampai tua. Di hadapan sidang pembaca, puisi tulisan tangan itu diterbitkan untuk mengingat kedirian pujangga dan waktu.
Pada masa berbeda, Sapardi Djoko Damono mengetik, menggubah ratusan puisi termiliki umat sastra di Indonesia. Sapardi Djoko Damono di hari-hari menjelang pamitan mengaku: “Heran, kok, umur saya bisa 80 tahun. Saya merasa justru sekarang ini saya harus meneruskan yang saya sukai, yaitu menulis. Setiap hari saya ngetik” (Kompas, 20 Juli 2020). Jari-jari itu mengetik, tak kuat atau luwes lagi menulis di buku sekrip seperti terselenggara saat muda, masa 1950-an sampai 1970-an. Begitu. (*)
Bandung Mawardi, esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah