Urgensi Unggah-ungguh Basa?
Oleh Jadid Al Farisy, S.Pd
BECIK.ID—Seringkali kita mendengar paribasan Jawa yang berbunyi, ajining diri saka lathi ajining raga saka busana, sekilas pepatah Jawa itu sederhana namun mengandung makna yang dalam jika kita mau mengkajinya lebih lanjut.
Maksud dari ungkapan di atas bermaksud memberi tuntunan kepada kita bagaimana caranya agar menjadi orang yang aji atau mulia pada arti yang sebenarnya. Bukan menjadi mulia karena harta, pangkat jabatan dan sejenisnya, melainkan lebih pada apa yang lebih esensi.
Salah satu dari banyak hal yang bisa dijadikan kunci mencapai tataran esensi kemuliaan adalah sejauh mana upaya kita dalam menjaga lathi atau lisan. Hal ini senada dengan sebuah hadis nabi yang menjelaskan bahwa, salamatul insan fi hifdzillisan, yang berarti selamatnya seorang manusia itu tergantung dari bagaimana ia menjaga lisannya.
Sedangkan untuk kalimat yang kedua, ajining raga saka busana, merupakan asosiasi atau pengibaratan bilamana seseorang selalu menjaga penampilan lahiriahnya, maka kemungkinan besar orang lain akan menaruh hormat bahkan segan padanya. Pemaknaan ini bukan berarti menafikan sisi batiniah dari seseorang dan lebih mengutamakan fisik saja, namun lebih pada empan papan dalam mengasah kecerdasan sosial.
Salah satu contoh sederhana saja, ketika ada orang yang bertamu di rumah kemudian kita menemuinya dengan pakaian sekenanya saja tanpa menghiraukan kepantasan, maka sudah barang tentu hal tersebut bisa saja mengindikasikan bahwa kurangnya kepekaan kita untuk menghormati orang lain, lebih-lebih pada tamu yang dalam ajaran Islam, wajib hukumnya dihormati dan dimuliakan.
Sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari yang berbunyi, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Dalam tradisi kebudayaan Jawa pun, adab bertutur kata sangatlah diperhatikan. Sehingga munculah sebuah istilah unggah-ungguh basa Jawa. Namun seiring dengan perkembangan zaman, para generasi tampaknya sudah tidak begitu lagi mempedulikan tradisi unggah-ungguh bahasa tersebut.
Hal ini bisa kita lihat secara langsung di masyarakat, berapa banyak para remaja dan anak-anak yang masih menggunakan bahasa krama ketika bertutur dengan orang yang lebih tua? Lebih banyak mana dengan mereka yang nyampong saja tanpa memperhatikan unggah-ungguh?
Unggah-ungguh bahasa Jawa sendiri merupakan adat sopan santun, etika, tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa. Selain istilah tersebut, etika bertutur kata bahasa Jawa tersebut disebut juga sebagai undha usuk bahasa yang bermakna tingkatan bahasa tutur.
Secara garis besar, undha usuk bahasa dibedakan menjadi dua, yakni bahasa krama dan bahasa ngoko.
Implementasi keduanya tidaklah sama. Bahasa krama fungsinya dipakai sebagai penghormatan pada orang yang diajak bicara, biasa digunakan oleh orang yang lebih muda pada yang lebih tua, bawahan pada atasannya, anak pada orang tuanya, murid kepada gurunya dan lain-lain.
Sedangkan bahasa ngoko lazimnya digunakan oleh orang yang mempunyai status yang sama atau dalam bahasa Jawa disebut sepantaran dan sepadha-padha. Selain itu, bahasa ini juga dipakai oleh orang yang lebih tua pada yang lebih muda, lebih tinggi jabatan dan statusnya dalam masyarakat pada bawahannya dan sejenisnya.
Tingkat tutur atau undha usuk basa ini tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan bertutur lisan saja, namun di dalamnya juga terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap. Karena antara lisan dan tindakan bagi orang Jawa harus nyawiji atau bersatu.
Namun dalam era saat ini, terdapat fenomena yang semakin membuat unggah-ungguh bahasa semakin terkikis saja, misalnya dengan adanya lembaga pendidikan yang menekankan anak usia SD dan sederajat, TK bahkan dalam pendidikan anak usia dini, untuk bisa berbahasa Inggris dengan lancar daripada harus menggunakan bahasa Jawa krama dalam berkomunikasi.
Padahal, dalam bahasa Jawa, selain mengajarkan segi ketatabahasaan, juga terselip pendidikan budi pekerti, sikap santun dan unggah-ungguh pada orang yang lebih tua. Boleh saja kita belajar bahasa asing internasional sebagai upaya mengimbangi perkembangan zaman, tetapi lantas jangan sampai melupakan tradisi dan budaya sendiri.
Janganlah kita seperti kacang ninggal lanjaran, kacang lupa akan kulitnya, karena akibatnya, lambat laun ciri khas daerah dari sisi bahasa dan budaya kesantunan orang Jawa akan mengalami degradasi. Efeknya, akan banyak generasi muda yang tak paham lagi kultur budayanya sendiri serta tidak lagi mempedulikan tradisi yang menjadi identitas diri.
Lalu, bagaimana cara kita menyikapi fenomena tersebut? Cara yang mungkin paling realistis adalah dengan memberlakukan lagi urgensi pendidikan dan pemahaman para generasi muda pada tradisi unggah-ungguh basa.
Teknis memperkenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut tidak hanya sekadar mengajarkan atau mengenalkan untuk hanya mengetahui tentang pengucapan kata-kata bahasa Jawa dalam tataran ngoko atau krama saja, tetapi lebih pada pelatihan pembiasaan terus menerus tentang sikap berunggah-ungguh yang benar dan baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. (*)
Gresik, 7 Januari 2021
JADID AL FARISY, alumni Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. Penyuka budaya Jawa. Menulis cerpen, puisi, esai dan geguritan. Beberapa tulisannya pernah tersiar di media lokal dan nasional. Karya tunggalnya yang telah terbit di antaranya, Kopi Kang Santri (antologi cerpen), Aku Membacamu, Kekasih (antologi puisi), Dialektika Akar Rumput (sehimpun esai) dan Kawula Mung Saderma (antologi geguritan).