Zikir dari Waktu ke Waktu
Oleh Eko Sam
Zikir adalah amalan bercahaya yang tak kasat mata.
Eko Sam
BECIK.ID—MANUSIA itu lemah, yang bisa dilakukan hanyalah zikir dari waktu ke waktu, mengupayakan ketaatan panca indra serta senantiasa mengharap kepada Yang Kuasa agar membimbing segala perbuatan yang dilakukannya.
Sudah jadi sunatullah jika kondisi batin dan keimanan manusia awam naik-turun, fluktuasi. Hanya setan yang kondisi batinnya dilaknat agar terus menurun, malaikat yang stabil dan tingkatan para nabi yang kian menanjak—meski terkadang tersandung sedikit “kasus” (seperti kisah Nabi Zakaria yang diancam Allah hendak dipecat dari tingkatan nabi kalau saja ia ‘berteriak lantaran merasa nelangsa’ sekali lagi saat sembunyi di dalam pohon dan digergaji kepalanya hingga ajal menjemput) dan setelahnya, atas karunia Allah, semakin melangit dengan tabiat maksumnya.
Manusia adalah gudangnya dosa dan maksiat. Dosa yang muncul dari dorongan batin dan maksiat yang muncul dari gerakan lahir. Dan sumber utama keduanya terbesit dalam lintasan mata atau bisikan panas api neraka di telinga yang lantas ditangkap kepala dan diolah dalam hati yang jadi sarang kepala setan untuk membujuk manusia berbuat nista atau dengki. Meski hati jadi hunian setan, ia akan merasa terimpit jika hati tersebut berzikir kepada Allah dan akan semakin terjepit (atau bahkan moksa) jika berkenan mendawamkannya.
Dalam satu riwayat kitab Hilyatul Aulia nomor 8066, dituturkan bahwasannya setan itu berkepala seperti kepala ular, dia menempatkan kepalanya di dalam hati. Jika anak Adam berzikir kepada Allah maka dia menciut, dan jika dia meninggalkan zikir maka dia meresapkan angan-angan dan membisikinya.
Di sisi lain, jika hati anak Adam hanya diisi Asma Allah (dan Rasul-Nya), serta lisannya dijaga agar basah mengingat Beliau Berdua, insya Allah, rahmat Allah beserta syafaat Rasulullah senantiasa menyertainya. Lebih lanjut, hanya di hati orang mukmin yang “muat menampung” Kebesaran Allah di kala langit dan bumi kepayahan menampungnya.
Zikir adalah amalan bercahaya yang tak kasat mata. Ia bisa berupa amalan lahir yang tampak di lisan atau amalan batin yang bergemuruh dalam hati. Perumpamaan cahaya zikir serupa aura positif dan negatif anak Adam nyata ada tapi gaib penampakannya. Ia hanya bisa ditangkap lewat pesan laku jasadi yang baik buruknya tidak bisa membuat silap mata—bagi pemilik mata suci (nurani).
Umpamanya aura anak Adam atau cahaya zikir tampak kasat mata, tentu kehidupan di dunia ini tidak menggairahkan, karena mudah dilihat mata jika yang baik menyorot kemilau dan yang buruk diliputi mendung. Dan kehidupan ini sungguh tidak begitu sepele seperti penggambaran kekuatan kasta pendekar di kartun animasi abstrak atau tayangan sinetron hikmah ahli neraka yang begitu lebai. Tapi penggambaran ini akan terwujud di akhirat kelak: ahli surga bermuka glowing ahli neraka “seakan-akan wajah mereka ditutupi dengan kepingan malam yang gelap gulita” (QS. Yunus: 27).
Lantas, selagi anak Adam masih di dunia dan napas masih keluar-masuk lewat tenggorokannya, apa yang harus dilakukannya?
Anjurannya sederhana, berzikirlah terus-menerus di mana pun berada selagi terjaga. Karena kewajiban ubudiah yang dibebankan syariat agama kepada anak Adam yang mukalaf tidak berlaku setiap waktu, tapi berkala. Sedangkan zikir merupakan amalan abadi yang bisa dijalankan setiap waktu, tanpa dipantang waktu tahrim atau hadas. Selagi mata terbuka dan napas terjaga kembang-kempisnya, lakukanlah. Apakah bisa membuat kaya? “Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenang.” Dan puncak kebahagiaan anak Adam di dunia ini adalah ketenangan, sedangkan kaya, hanya sekadar jadi salah satu instrumen penunjangnya. Karena banyak sekali orang kaya dan tak sedikit orang dalam kondisi sederhana, justru kualitas kebahagiaannya terjadi sebaliknya.
Maka dari itu, setelah berupaya sekuat tenaga untuk mendawamkan zikir kepada Allah Swt., seyogianya anak Adam melanjutkan kebaikan batinnya menuju amalan-amalan lahirnya. Memfungsikan mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan dan kaki sesuai porsi yang diridai dengan beragam cara, terapi dan arahannya. Bisa pula disimpulkan seperti nasihat almarhum guru saya, K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah, “Janganlah melakukan maksiat hingga akhir hayat.”
Akhir kalam, saya hanya bisa berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kami malu kepada Engkau, di saat kondisi terjaga tanpa mengingat Engkau. Amiiin.” (*)
EKO SAM, founder becik.id Penulis buku Sabda Malaikat, 2019 dan Ngaji Ngopi: Ngrembuk Lakon Urip — Sebuah Laku Kecil Seorang Santri, 2023